5 Penyebab “Anak Daerah” Sulit Dapet Pacar di Universitas Indonesia

Afi Ahmad Ridho
5 min readFeb 16, 2023

--

Refleksi Pasca Valentine

sumber: facebook.com/convomfs

Hidup di tengah hiruk pikuk kota Jakarta — khususnya Jaksel, tempat turunnya Dajjal — dengan segala gemerlap kehidupan dunia, tekanan hidup yang mengacam kesehatan mental, serta tuntutan akademik UI yang lebih kejam dari ibu tiri membuat para remaja membutuhkan sosok untuk berkeluh menumpahkan segala kesah serta sarana perbaikan mood kala suntuk.

Jika ditanya “apa saja kebutuhan pokok?” Mungkin jawaban sebagian mahasiswa adalah “sandang, pangan, papan, dan pacar”. Pacar dalam KBBI dimaknai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Dikutip dari laman www.alodokter.com— situs web di bawah naungan KEMENKES RI — ada tujuh manfaat pacaran, di antaranya adalah: mengurangi stress, mengatasi kesepian, serta membantu proses pendewasaan diri. Menarik bukan?

Nah, sekarang mari kita bahas terminologi “anak daerah”. Secara geografis, mahasiswa UI terbagi menjadi dua bagian: Anak Jabodetabek dan mereka yang berasal dari luar Jabodetabek. Bagian kedua inilah yang disebut dengan anak daerah.

Mayoritas anak daerah mengalami kesulitan saat beradaptasi dengan lingkungan kapitalis Universitas Indonesia. Hal ini kemudian merembet pada kehidupan asmara mereka yang sulit dijalin. Banyak kisah cinta anak daerah berakhir NT ketika mereka mencoba memulai hubungan dengan pribumi Jabodetabek. Alhasil, mereka memilih berpacaran dengan sesama anak daerah atau LDR dengan anak kampus lain.

Dalam artikel ini, penulis akan memaparkan lima hal yang membuat anak daerah sulit dapet pacar di UI (konteks: anak daerah yang ngincer/suka duluan) dari sudut pandang anak rantau. Tulisan ini bersifat argumentatif sedangkan poin-poin yang disajikan diambil dari kontemplasi dan pengalaman pribadi penulis, wkwk.

1. Perbedaan strata ekonomi yang ekstrim (miskin)

Anak daerah tidak mengalami “miskin” secara literal. Namun karena perbedaan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan produktivitas wilayah antara daerah asal dan Jakarta, uang bulanan yang dijatah orang tua jadi turun nilainya. UMR dan UMP Jakarta telah mencapai angka Rp 4.901.798 sedangkan daerah lain di pulau jawa masih berkutat di angka Rp 1,958,169.

Harga minuman di kafe Jakarta bisa buat neraktir tiga orang di kafe Jawa. Kalangan upper class economy di Jawa bisa turun ke middle class di Jakarta, yang di Jawa udah middle? Ya, lower class. Akibatnya, anak daerah jadi jarang nongkrong , jarang maen, dan terasing dari lingkungan sekitar. Kalo cuma ngandelin chatting & vidcall, mana ada yang mau?

2. Kendala bahasa

Tujuh dari sepuluh orang di kelas adalah anak Jabodetabek. Jadi, perbedaan logat dan dialek akan sangat mudah terdeteksi dalam lingkungan UI. Orang Jawa yang medho’, Kalimantan dan Sulawesi yang kalo ngomong berirama, serta orang Madura yang mirip Penyu Nemo — seperti saya, akan terlihat mencolok di tengah klaster dialek anak Jabodetabek yang dihiasi literally, basically, dan ly-ly yang lain. Biasanya, warga lokal akan reflek tertawa ketika mendengar nada bicara ala Madura atau logat medho’ dari Jawa.

Waktu diketawain karena bahasanya, beberapa anak ngerasa terdiskriminasi sampe males ngomong lama-lama sama anak Jakarta. Padahal, salah salah satu kunci hubungan adalah komunikasi intens.

3. Ketimpangan Kualitas Akademik

Mengapa populasi anak Jabodetabek lebih banyak daripada anak daerah? Karena memang, kualitas akademik dan fasilitas penunjang belajar di SMA/MA/Pesantren daerah masih jauh tertinggal dibanding sekolah di kota-kota besar. Universitas Indonesia juga mematok standar tinggi bagi lulusan SLTA untuk diterima menjadi mahasiswa.

Memang ada beberapa anak daerah yang mampu bersaing secara akademik, namun banyak juga yang diterima lewat jalur afirmasi sehingga anak daerah kurang mampu berbuat banyak di kelas. Karena peran di kelas yang kurang mencolok, anak daerah semakin tenggelam dalam persaingan pasar pasangan.

Ada empat aspek pasangan ideal yang menjadi standar seseorang untuk menjadi “menarik”, yakni: Body, Brain, Behavior, and Finance. Dengan aktif di kelas, anak daerah bisa saja membuat seseorang jatuh hati karena aspek kedua. Namun dengan menjadi pasif, potensi mendapat pacar lewat jalur ini pun tertutup.

4. Perbedaan norma sosial dan nilai religiusitas (Alim)

Di Jakarta, pacaran telah menjadi hal wajar bagi remaja. Para orang tua bahkan cenderung memberi izin anaknya pacaran karena mungkin pernikahan mereka diawali dengan cara yang sama.

Namun beda cerita dengan anak daerah. Di Madura, pacaran selalu dimaknai dengan konotasi negatif. Pacaran disebut zina, haram, dan khalwat. Apalagi buat anak pesantren, jangankan pacaran, satu sirkel sama cewek aja masih canggung. Hal itu membuat kemampuan PDKT anak daerah jadi tumpul. Di sisi lain, larangan orang tua juga mempengaruhi keinginan anak daerah untuk pacaran.

“Kalo mau punya cewek, sekalian aja lamaran. Ntar lulus kuliah langsung nikah”.

mungkin kalimat di atas cukup menggambarkan sikap orang tua anak daerah yang mungkin juga dijodohin waktu mau nikah dulu.

Saya tidak bisa membernarkan salah satu di antara dua paradigma di atas. Namun selain ngebuat kita jomblo, implikasi norma sosial dan nilai religiusitas yang terlalu strict dapat menghambat kolaborasi antar mahasiswa.

5. Efek domino insecure berlebihan

Jika memiliki kesemua atau salah satu poin di atas, anak daerah bisa merasa insecure dan malas bergaul sehingga mereka terkucilkan dari circle-circle sosial. Akhirnya, lingkar pertemanan mereka terbatas hanya dengan sesama anak daerah — yang jumlahnya tak sebanyak anak Jabodetabek.

Akibatnya, distingsi antara anak daerah dan Jabodetabek tercipta. Steriotipe dan labelling negatif pun disandarkan pada anak daerah seperti: anak daerah itu miskin, gak gaul, kampungan, introvert, gak open minded, dan banyak lagi. Anak daerah makin kesulitan dapet pacar.

Lalu, anak daerah kemudian malu dengan identitasnya. Mereka mulai menyembunyikan, memendam dalam-dalam unsur kedaerahan yang sebelumnya melekat dalam diri mereka karena mereka berfikir, satu-satunya cara agar dapat diterima dalam circle sosial adalah dengan membaur dan menghilangkan distingsi kedaerahan.

Kalo pengen dapet pacar anak Jakarta, gua harus berperilaku seperti orang Jakarta.

Penutup

Lima poin di atas menyiratkan makna bahwa kesulitan terbesar anak daerah buat dapetin pacar adalah perbedaan. Langkah yang mereka tempuh untuk menanggulanginya adalah berusaha semaksimal mungin menghilangkan perbedaan.

Padahal, tak semua aspek di Jakarta layak menjadi acuan dan standar. Antara Jakarta dan Desa memiliki plus dan minusnya masing-masing. Sikap sebagai anak daerah yang seharusnya adalah mengambil sisi positif kultur Jakarta dengan tetap mempertahankan nilai-nilai positif dari Desa.

Perbedaan sebenarnya tidak menghambat kita untuk pacaran. Jika disikapi dengan baik, perbedaan bahkan dapat memperindah hubungan.

Ada dua kemungkinan kesan yang ditumbulkan dari adanya perbedaan, yakni: Berbeda bisa jadi aneh, tapi juga bisa unik.

Kalo kamu baik, orang tidak akan bertanya apa agamamu, dari mana kamu berasal, dan latar belakang keluargamu.

--

--

Afi Ahmad Ridho
Afi Ahmad Ridho

Written by Afi Ahmad Ridho

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI

No responses yet