Aku Berhenti Oversharing dan Mulai Melakukan Ini
Harimu dimulai dengan sinar mentari yang menembus kisi-kisi jendela. Cahayanya bersahaja, tidak terlalu terik sehingga membuat kulit terasa terbakar tetapi cukup hangat untuk membangunkan wajah yang terpapar.
Kamu bangun dengan keadaan setengah linglung. Maklum, matamu baru bisa terpejam setelah adzan subuh berkumandang. Semalam kamu terjaga, memikirkan pekerjaan yang belum tuntas, tanggung jawab yang harus diemban, dan rancangan kegiatan yang perlu dieksekusi.
Ponsel pintar yang tergeletak di tepi bantal menjadi benda pertama yang kamu pegang, kamu terus melakukan scroll tanpa henti, mengonsumsi asupan informasi yang terus bermunculan.
Sahabat karibmu pergi berlibur, tantemu menikmati pesona air terjun, teman sekelasmu kembali pada mantan kekasih, sedangkan salah satu followersmu mengeluh karena pujaan hatinya tak pernah peka kalau dia menyukainya.
Dan, tak lama setelah itu, kamu menambah hingar-bingar informasi dengan memposting keluhanmu semalaman, depresi musiman yang kerap kali melanda, atau kecemasan yang kadang hinggap di kepala.
Tanpa disadari, kamu telah mengonsumsi informasi dan keluhan orang lain sebelum menyeruput kopi di pagi hari. Sesuatu yang jarang sekali dialami oleh kakek-nenekmu semasa remaja dulu.
Saat ini, pola seperti itu sangatlah manusiawi untuk mengawali pagi; dan hal tersebut tidak selalu baik.
Arus pertukaran informasi terjadi secara terus-menerus, membagikan cerita tanpa henti seolah menjadi hal yang lumrah sehingga kita hampir tidak menyadarinya lagi. Namun ada konsekuensi psikologis, sosial, dan emosional baru yang harus kita pahami.
Sejak zaman pra-sejarah, nenek moyang kita selalu menemukan cara untuk menceritakan pengalamannya kepada orang lain, sedari lukisan-lukisan abstrak di goa-goa hingga tradisi cerita lisan. Saat ini, media sosial telah memperkuat dorongan untuk berbagi cerita pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hanya dengan beberapa ketukan layar, kita bisa langsung membagikan, pemikiran, perasaan, dan pengalaman pada ratusan bahkan ribuan orang. Kemampuan yang akan tampak seperti mukjizat dewa pada beberapa abad lalu.
Di era pra-digital, privasi adalah keadaan standar. Berbagi informasi memerlukan upaya — menulis surat, menelepon, atau melakukan percakapan tatap muka. Sekarang, privasi membutuhkan usaha. Kita harus secara aktif memilih untuk tidak berbagi, menahan godaan untuk memposting, menyimpan pemikiran dan pengalaman kita untuk diri sendiri.
Saat ini, yang terjadi malah sebaliknya. Ketika berbagi merupakan hal yang lumrah, kita berbagi tanpa berpikir, membanjiri beranda kita dengan arus informasi yang terus-menerus. Informasi terus berputar mengelilingi kita seperti bianglala. Beberapa di antaranya tidak berbahaya, tentu saja. Sebagian besar dari hal ini bersifat sangat pribadi, momen tergelap kita, ketakutan kita, pikiran impulsif kita.
Namun di lain kesempatan, hubungan menjadi tegang atau berakhir karena tweet yang disalahpahami. Reputasi dirusak oleh postingan yang tidak dipertimbangkan dengan baik. Ini bukanlah skenario yang mengada-ngada — ini adalah kenyataan yang dialami banyak orang, yang menjadi korban dari tindakan berbagi dan posting berlebihan.
Dan risikonya tidak hanya respons orang lain terhadap kita. Ketika kita selalu tampil di hadapan penonton, kita dituntut untuk selalu mengkurasi pengalaman kita untuk agar “layak” dikonsumsi publik. Akhirnya, kita kehilangan kontak dengan diri sendiri.
Pikirkan tentang terakhir kali kamu mendapatkan pengalaman yang berarti. Meski hanya sesaat yang ingin kamu kenang. Persetan dengan pergi liburan sepanjang Juli. Apakah kamu tergesa-gesa meraih ponsel untuk merekam dan membagikannya? Dan, pada momen berbagi itu, apakah kamu benar-benar menikmati momen itu? Atau apakah kamu sudah memikirkan cara membingkainya untuk para followers-mu?
Pola hidup seperti itu menciptakan efek yang berbahaya. Kita tidak menghargai pengalaman berdasarkan kesenangan saat menjalaninya; kita hanya menghargai pengalaman karena ia dapat dibagikan. Kita menilai hidup dari bagaimana orang lain memandang pengalaman kita, bukan dari apa yang kita rasakan pada momen-momen berharga itu.
Jawaban atas semua ini lebih sederhana dari yang kamu kira: mulai membuat diary, catatan harian.
Tentu saja, menulis catatan harian bukanlah hal baru. Orang-orang telah membuat buku harian berabad-abad. Di era dimana orang-orang berbagi tanpa batas, menulis jurnal menjadi tindakan privasi yang radikal, sebuah pilihan yang disengaja untuk menyimpan pikiran dan pengalaman kita untuk diri kita sendiri.
Bagiku, menganggap jurnal pribadi adalah media sosial pribadiku sendiri, dimana aku adalah satu-satunya pengikutnya. Seperti platform media sosial, ini adalah tempatku berbagi pemikiran, perasaan, dan pengalaman. Berbeda dengan media sosial, tidak ada tekanan bagiku untuk tampil, tidak perlu melakukan kurasi, tidak ada risiko berbagi secara berlebihan.
Aku telah “memposting” catatanku di sebuah diary mungil. Sebagian besar entri jurnal maksimal satu paragraf. Dan dalam format itu, aku bisa jujur sepenuhnya. Aku dapat menceritakan ketakutan terdalam dan impian terliar tanpa khawatir akan penilaian atau salah tafsir. Aku dapat mengoceh tentang pekerjaanku tanpa takut akan konsekuensinya. Aku bisa menjadi konyol, serius, marah, atau gembira, dan tidak ada yang tahu kecuali aku.
Kebebasan untuk menjadi otentik ini sungguh sangat menenangkan. Aku dapat memproses pengalamanku secara lebih utuh, memahami pikiran dan perasaanku sendiri tanpa perlu membelokkan persepsi publik. Ini memberi saya ruang untuk berefleksi, tumbuh, dan belajar dari kesalahan saya tanpa sorotan tajam dari publik.
Menulis diary membantuku melawan siklus berbagi media sosial yang didorong oleh dopamin. Ketika aku memposting di media sosial, aku langsung mendapat validasi dalam bentuk suka, komentar, dan bagikan. Keinginan akan dopamin dan perhatianlah yang membuatku kembali ke media sosial, terus-menerus memeriksa pembaruan dan mencari validasi berikutnya.
Menulis catatan harian memberikan kepuasan yang berbeda. Tidak ada masukan langsung, tidak ada validasi eksternal. Sebaliknya, imbalannya datang dari tindakan menulis itu sendiri, dari kejelasan dan wawasan yang kita peroleh melalui refleksi diri.
Ini adalah bentuk kepuasan yang lebih lambat dan halus. Dan itu penting.
Beralih dari berbagi terus-menerus di media sosial ke catatan pribadi tidaklah mudah. Kita yang sudah terbiasa dengan kepuasan instan dari media sosial, dengan masukan dan interaksi yang terus-menerus akan merasa seperti berteriak dalam kehampaan saat mulai menulis diary.
Kesepian inilah yang menjadi permasalahan selama transisi. Dalam koneksi yang konstan, dalam kebisingan yang tak ada habisnya.