Bagaimana Anies Menyihir Masyarakat dengan Retorikanya: Kata-Kata Pemicu Gerakan Massa
Mendekati injury time masa kampanye Calon Presiden 2024, dukungan publik terhadap Anies Baswedan kian bergejolak. Dalam beberapa survei terbaru, elektabilitas Anies-Muhaimin bahkan mengungguli pasangan Ganjar-Mahfud yang disokong PDPI, jawara Pemilu dua kali beruntun yang sedang mengincar hattrick di tahun ini. Padahal, Anies sebelumnya identik dengan label kadrun yang intoleran dengan titik hitam politik identitas pasca Pilgub DKI. Tak hanya itu, Anies juga disebut-sebut sebagai pembual manis yang tak becus bekerja. Tetapi semakin mendekati hari penentuan tahta orang nomor satu di Indonesia, Anies makin menunjukkan tajinya sebagai figur pembawa semangat perubahan.
Pemilu 2024 merupakan salah satu sekuel paling menegangkan dari series pemilihan umum di Indonesia. Ketegangan sudah terasa sejak masa pencalonan; saat itu Mahkamah Konstitusi membukakan jalan bagi putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk melenggang mendampingi Prabowo Subianto. Tentu, pasangan yang didukung Presiden Jokowi dan kroninya ini menjadi kontestan dengan kans paling besar untuk memenangi Pemilu.
Namun tampaknya, Anies-Muhaimin bukan rival yang mudah dikalahkan. Retorika Anies berhasil menyihir berbagai kalangan masyarakat mulai dari golongan radikal, liberal, moderat, akademisi, avkor, tua, muda, yang berdomisili di kawasan urban, bahkan rural. Semua tersihir oleh retorika Anies.
Dalam artikel ini, penulis akan mengulas retorika Anies, dinamika pencalonannya, pertemuan Anies-Muhaimin, dan gerakan massa orang-orang yang tersihir retorika Anies.
Retorika Bukan Omon-Omon Semata
Seiring dengan kemunculan abang-abangan aktivis mahasiswa yang baru membaca setengah buku “Madilog” namun giat mengkhotbahkan gerakan revolusi kepada juniornya di kampus, makna “retorika” menjadi kian klise. Retorika dimaknai sebagai bualan yang tak dapat melahirkan aksi nyata; sebagian menganggap pernyataan retoris sebagai ungkapan yang tidak perlu diucapkan (baca: bacot).
Padahal ribuan tahun lalu di Athena, retorika ditasbihkan sebagai keterampilan tingkat tinggi. Aristoteles merumuskannya sebagai gabungan dari ethos (kredibilitas), pathos (emosi), dan logos (logika).
Anies memiliki modal yang cukup untuk mempraktikkan ketiga sumbu retorika yang disebutkan Aristoteles. 14 pencapaiannya selama menjabat Gubernur DKI Jakarta ditambah 7 penghargaan internasional dapat dipamerkan sebagai bukti kredibilitasnya sebagai pemimpin. Emosi yang dipertontonkan Anies ke hadapan publik juga menyiratkan ketenangan, kearifan, dan kebijaksanaan, meskipun menurut sebagian orang dianggap lick seperti Sengkuni–seorang tokoh antagonis dalam epos Mahabharata. Logika? Sepertinya mayoritas masyarakat setuju bahwa El-Chef–julukan lain bagi Anies–adalah Calon Presiden dengan kemampuan terbaik dalam berpikir dan bernalar. Hal tersebut bisa dilihat dari riwayat hidupnya, sebelum menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Anies pernah menjadi rektor Universitas Paramadina selama delapan tahun.
Pendukung fanatik Prabowo dan Ganjar menganggap retorika Anies sebagai bualan belaka, Prabowo bahkan menyematkan istilah “omon-omon” pada Anies. Padahal, ucapan dan janji-janji Anies tidak bisa dipisahkan dari tiga aspek di atas. Aristoteles menyebut, orang yang memiliki ethos, pathos, dan logos akan memiliki daya persuasi yang kuat untuk mempengaruhi khalayak. Tak ayal, hal tersebut membuat banyak orang dengan senang hati turun tangan untuk membantu pemenangan Anies dalam kontestasi Pemilu.
“Kita sering meremehkan kata-kata. Loh, kalo kata-kata tidak penting, tidak ada kitab suci. Semua pesan itu isinya kata-kata, tapi di balik kata-kata ada pesan (dan) ada gagasan. Munculkan narasinya, baru karya. Kami di Jakarta pegang itu, gagasan, narasi, karya.” (Ujar Anies dalam suatu forum saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta).
Awal Pencalonan: Kandidat yang Paling Diragukan
Saat bursa calon Presiden dibuka, nama Anies Baswedan mencuat sebagai salah satu kandidat dengan elektabilitas mumpuni untuk berkontestasi dalam Pemilu 2024. Meski begitu, Anies yang diusung Nasdem diragukan dapat berlaga di Pilpres. Untuk mendapat tiket, melampaui presidential threshold 20% (ambang batas pencalonan), Nasdem harus berkoalisi dengan partai lain. Mengangkat figur non-partai seperti Anies sebagai kandidat Presiden sangat berisiko, sebab kemungkinan besar partai hanya mau berkoalisi apabila kadernya diusung sebagai kandidat.
Hasan Nasbi, seorang pengamat politik, bahkan sesumbar mempertaruhkan mobil alphardnya jika Anies berhasil mencalonkan diri sebagai kandidat Presiden 2024. Prediksi Hasan Nasbi meleset. Koalisi Perubahan berhasil dihimpun dengan gabungan Nasdem, Demokrat, dan PKS. Mendekati masa pencalonan, koalisi pecah kongsi; Demokrat meninggalkan Koalisi Perubahan setelah Agus Yudhoyono tak jadi dipinang sebagai Calon Wakil Presiden mewakili Anies. Tetapi tak lama berselang, PKB masuk dan kesepakatan untuk mengangkat Muhaimin Iskandar sebagai wakil Anies berhasil tercapai. Taruhan berakhir dengan hasan yang harus mengikhlaskan alphardnya berpindah milik kepada Sunny Tanuwidjaja, salah seorang kolega Anies Baswedan.
“Pemimpin itu pepimpi + N, jadi pemimpin itu berawal dari pemimpi yang punya N, N-nya nyali.” (Ucap Anies dalam pidato politik deklarasi Capres-Cawapres dari Koalisi Perubahan).
Dengan kata “pemimpi”, Anies menyadari bahwa memenangi Pemilu adalah misi yang sangat sulit. Tapi sulit bukan berarti mustahil. Dia menyebut bahwa dengan “nyali”, yakni keberanian, konsistensi, dan resistensi dalam menghadapi berbagai rintangan yang menghadang,
Bersanding dengan Muhaimin: Kawin Paksa Berujung Bahagia
Banyak orang menganggap bahwa bersanding dengan Muhaimin adalah blunder terbesar Anies. Pertama, Anies dianggap sebagai akademisi yang bijak sedangkan figur Cak Imin dikenal ceplas-ceplos dalam berpendapat. Kedua, Anies memiliki latar belakang historis bersama PKS dan golongan islam-kanan sedangkan Muhaimin adalah ketua umum PKB yang sangat erat kaitannya dengan golongan islam tradisional atau islam moderat (baca: NU). Kedua golongan ini dikenal kurang harmonis satu sama lain karena perbedaan kultur keislaman. Menyatukan mereka berdua adalah kawin paksa yang dapat menyebabkan keributan pendukung di lapisan terbawah (grass root) sehingga perolehan suara menurun.
Tetapi siapa sangka? Bukannya semakin terkikis, Anies-Muhaimin malah berhasil menyatukan kedua golongan islam tersebut di bawah panji perubahan. Bukan hanya NU dan islam-kanan, Anies melalui retorikanya juga berkomitmen untuk menjaga kebhinekaan dalam keadilan bagi seluruh golongan sehingga citra politik identitas yang sebelumnya melekat erat perlahan mulai luntur.
“Bersatu dalam keadilan. Prinsip yang kami bawa (adalah) menjaga keadilan. Begitu ada keadilan maka Bhineka Tunggal Ika akan hidup berdampingan.” (Jawaban Anies saat ditanya mengenai komitmen untuk menjaga kebhinekaan dalam Desak Anies Purwokerto). Anies kemudian melanjutkan:
Di sisi lain, kalo kampanye pasti ada yang berusaha memberikan label pada lawan, dan labelnya biasanya nakut-nakutin. Saya ingin sampaikan, takut itu abstrak. Kalo risiko itu bisa diukur. Jadi jangan kita terbawa oleh orang-orang yang memberikan rasa takut yang tidak beralasan. Ketika mau mengecek, apakah besok saya (Anies) berperilaku melindungi semua (golongan). Maka lihatlah kemarin (sewaktu menjabat Gubernur). Jika kemarin (saya) melindungi semua, maka anda bisa memprediksi bahwa besok dia akan melindungi semua.”
Game Changer Pemilu 2024
Bayangkan Pemilu 2024 tanpa Anies, pasti tidak akan seseru ini, bukan? Anies menjadi biang terjadinya diskursus mengenai rekam jejak, rekam karya, dan rekam gagasan dalam kontestasi Pemilu. Dia membawa trend dan standar baru bagi kandidat Presiden melalui dialog dua arah dengan setiap lapisan masyarakat. Hal tersebut tercermin melalui safari Desak Anies ke berbagai daerah untuk mendengar dan menanggapi keluh kesah masyarakat mengenai berbagai isu dan topik bahasan mulai dari yang paling normatif hingga yang paling sensitif.
Dalam dialog Desak Anies, masyarakat bisa bebas bertanya, mengkonfirmasi, menanyakan validasi, bahkan mencerca Anies Baswedan. Pada episode Desak Anies Lampung misalnya, seorang pemuda berkaos Ganjar hadir dan menanyakan pertanyaan menohok mengenai posisi Anies terhadap IKN. Anies menjawab:
“Bung Mon (nama penanya) ini adalah contoh seseorang yang demokratis. Karena dia mau datang ke sebuah acara dan bertemu pasangan yang tidak dia dukung. Dan kita semua (pendukung Anies) harus demokratis juga, (harus) menghormati. Inilah indahnya Indonesia. Jangan dirusak.” Anies melanjutkan:
“Yang akan menggunakan (IKN) adalah aparatur negara. Ini sama seperti, di Lampung misalnya, ada 51% sekolah yang rusak berat. Sekarang kita punya uang (APBN). Uang ini mau kita gunakan untuk apa, memperbaiki 51% sekolah yang rusak berat atau dipakai untuk membangun gedung baru untuk dinas pendidikan (di IKN). Subsidi pupuk kita diturunkan kemarin, nah sekarang petani mengeluhkan pupuk. Kalo alokasikan anggaran untuk membangun kantor (dinas pertanian). Bagi siapa (yang akan menggunakan)? Aparat negara. Aparat negara masih bisa bekerja di kantor yang lama.”
Anies menyihir seluruh ruangan dengan retorikanya hingga peserta diskusi berkaos Ganjar ikut bertepuk tangan. Saat itu, elektabilitas Anies masih stagnan di urutan ketiga di bawah Ganjar, namun publik mulai sadar untuk mempertimbangkan peralihan suara kepada Anies Baswedan.
Tidak berhenti di sana, retorika Anies juga berdampak signifikan dalam Debat Resmi KPU. Dalam debat pertama, Anies di luar dugaan berani membalikkan serangan Prabowo Subianto yang pernah mengusungnya di Pilkada DKI. Prabowo yang menyatakan bahwa Anies berlebihan dalam menilai demokrasi, tidak seperti Anies, dia tidak takut tak punya jabatan. Anies kemudian membalas dengan respon:
“Sayangnya, tidak semua orang tahan menjadi oposisi. Seperti yang disampaikan Pak Prabowo, Pak Prabowo tidak tahan untuk menjadi oposisi. Beliau sendiri menyampaikan bahwa tidak berada dalam kekuasaan membuat tidak bisa berbisnis (pernyataan ini disampaikan Prabowo di salah satu acara bersama Najwa Shihab). Kekuasaan lebih dari soal bisnis, kekuasaan lebih dari soal uang, kekuasaan adalah soal kehormatan untuk menjalankan kedaulatan rakyat.”
El-Chef benar-benar membuat Prabowo dan timsesnya berang malam itu. Retorika Anies menyihir seluruh orang yang menyaksikan Debat Resmi KPU hingga menghasilkan 76% sentimen positif di Twitter/X. Perlahan namun pasti, suara masyarakat mulai bergeser padanya.
Anies benar-benar menempatkan standar baru dalam pentas kampanye politik. Dialog dua arah yang sebelumnya minim terjadi sebab dianggap sebagai kampanye bunuh diri–disebut bunuh diri karena bisa saja muncul pertanyaan sensitif yang membuat kandidat tidak berkutik atau sengaja memancing kandidat agar melakukan blunder–kini menjadi tontonan publik sehari-hari. Masyarakat tershir sebab diberikan panggung untuk bertanya dengan bebas mengenai problematika masa lalu, masa kini, dan masa depan bangsa. Gaya kampanye ini kemudian disusul dengan Slepet Imin, Malmingan Ganjar, dan Tabrak Prof.
Menjelang masa akhir kampanye, Anies mulai aktif bercengkrama dengan pengguna platform TikTok. Berbeda dengan gaya pertanyaan di Desak Anies yang cenderung menyasar isu politik dan kebijakan publik, dialog live TikTok Anies bersifat lebih santai dengan bahasan isu-isu ringan, nasehat hidup, bahkan gelak tawa.
Retorika Anies mulai menyihir pengguna TikTok saat jawaban Anies mampu memberi semangat pada para remaja yang sedang gundah. Misalnya saat ditanya tips bangkit dari kegagalan, Anies memberi nasehat:
“Sukses itu bukan hanya berhasil meraih yang kita rencanakan. Sukses juga adalah berhasil bangkit ketika jatuh. Ingat tidak ada kegagalan yang permanen. Mungkin hari ini merasa gagal, tapi bukan berarti akan gagal terus-menerus. Dan ingat, jangan pernah merasa sebagai orang pertama yang gagal. Kalo bicara kegagalan, pasti ada orang lain yang pernah gagal. Kalo mereka bisa bangkit, kenapa saya tidak?”
Sosok Anies yang arif dan mengayomi membuat banyak netizen merasa sedang dinasehati oleh ayah saat menonton live Anies. Mereka kemudian mengangkat Anies sebagai “Abah” secara aklamasi dan selalu menunggu waktu untuk bersua dengannya di layar kaca.
#Humanies: Relawan Objektif, Kreatif, dan Dermawan
Kemunculan #Humanies–sebutan bagi fandom Anies Baswedan–yang mengajak orang muda untuk mulai melek politik in fun way ikut andil dalam meramaikan pesta demokrasi 2024. Humanies memiliki keunikan dibanding relawan pendukung Paslon lain, sebab klaster ini dihuni oleh orang-orang yang objektif, kreatif, dan filantropis.
Objektif: Humanies bukanlah pendukung fanatik yang mau membenarkan segala hal yang dilakukan oleh Paslon yang mereka dukung. Pada Debat Capres kedua misalnya, saat pendukung Paslon 02 sibuk membela mati-matian kekurangsiapan Prabowo dalam isu pertahanan, relawan Anies justru menyayangkan dan mengkritik tindakannya yang dinilai terlalu ofensif sehingga argumen yang disampaikan kurang substantif.
Di kesempatan lain, Muhaimin tak luput dari kritik relawan Amin saat tampil kurang baik di Debat Cawapres pertama. Pendukungnya menyinggung banyaknya blunder yang dilakukan Muhaimin kala debat kontra Gibran dan Mahfud. menjelang Debat Kedua Cawapres, Muhaimin bahkan mendapat ultimatum akan diculik ke Rengasdengklok oleh golongan muda–meskipun ini hanya candaan, namun satire ini menggambarkan objektivitas relawan Amin. Tak ayal, hal ini membuat Humanies semakin solid sebab dukungan yang diberikan kepada Paslon Anies didasarkan pada objektivitas dan rasionalitas, bukan hal sentimentil semata.
Kreatif dan Dermawan: Belakangan, kata “videotron” dan “haveaniesday” menjadi trending di platform Twitter/X. Hal ini disebabkan oleh inisiatif relawan Anies yang dikomandoi oleh @aniesbubble dan @olpproject untuk membuat video bernuansa idol kpop tentang Anies. Video-video tersebut kemudian dipertontonkan ke khalayak menggunakan videotron yang tersebar di berbagai kota-kota di Indonesia. Tidak hanya itu, sebuah situs web haveaniesday.com dibuat untuk memberikan wawasan mengenai visi-misi, rekam jejak, rekomendasi bacaan, dan banyak hal lain mengenai Anies Baswedan. From Humanies for Pak Anies, demikian tertulis dalam situs tersebut. Oh iya, jangan lupakan foodtruck, baliho bikinan warga, dan beragam alat peraga kampanye lainnya.
“Pilihan untuk membantu orang baik di dalam pemilu adalah pilihan sejarah. Hari ini mungkin tampak tak populer, masih tampak aneh jika ada kemauan untuk terlibat dan membantu para kandidat tak bermasalah.
Dunia bergerak ke arah perbaikan tata kelola yang baik. Korupsi tak bisa langgeng, ia makin hari makin tergerus. Bayangkan suatu saat kelak generasi anak- anak kita hidup di era baru dan bertanya: ‘Ayah, Ibu, di zaman politik Indonesia masih penuh korupsi, apakah Ayah dan Ibu ikut korupsi, atau diam, atau ikut melawan?’
Saat itulah pilihan sejarah tadi menemukan jawabnya: jika hari ini Anda mau berbuat, mau terlibat, sekurang-kurangnya Anda bisa menjawab dengan rasa bangga. ‘Ayahmu, Ibumu, tidak membiarkan dan tak pernah jadi bagian yang membuat republik ini keropos. Di saat orang berduit membayar dukungan, Ayahmu, Ibumu, tak menjual dukungan. Ayah dan Ibumu membantu orang-orang baik dengan tanpa dibayar. Harga diri Ayah dan Ibumu tidak bisa dirupiahkan!.’” (Tulisan Anies di Kompas edisi 16, 01, 2014).
Retorika Anies berhasil membuat orang-orang tergerak untuk membantunya dalam kontestasi Pemilu. Mengingat, pasangan Amin adalah paslon dengan resource finansial paling sedikit (baca: paling miskin), banyak pendukung Anies yang tergerak untuk menyumbangkan dana, waktu, dan tenaganya agar semangat perubahan Anies dapat dieksekusi di atas tanah bumi pertiwi. Hal ini tampak kontras dengan sebagian “relawan” lain yang hanya mau membantu upaya pemenangan kandidat apabila mendapat asupan dana.
Merenungi Sihir Retorika Anies
Berkat Anies, banyak orang yang mulai mengkaji ulang ungkapan “pintar ngomong = enggak bisa kerja”. Kemampuan retorika tidak berlawanan dengan kemampuan bekerja. Orang-orang dengan retorika yang bagus justru telah menyelesaikan banyak hal dalam pikiran mereka. Kemampuan ini akan sangat berguna untuk bekerja dalam level manajerial, misalnya sebagai Presiden.
Berdasarkan seluruh agenda kampanye yang Anies lakukan, publik juga semakin sadar akan betapa kronisnya kondisi negara kita hari ini, Anies semakin dikenal, dan semangat menatap perubahan kian mengental. Tentu, ini bukan hasil dari jerih payah Anies seorang. Ada andil keluarga, kolega, tim, dan pendukung tulus di belakangnya yang senantiasa menginfakkan dana, waktu, tenaga, dan pikirannya demi memenangkan Anies. Lalu mengapa Anies sedemikian berharga? Mantra apa yang dia gunakan untuk mempertahankan sihir magis yang melekat pada khalayak?
Anies berharga bukan hanya karena apa yang dia ucapkan, Anies berharga bukan karena apa yang dia kerjakan. Tapi Anies berharga karena mau mendengar keluhan kita. Anies berharga karena mau bergumul di tengah-tengah buruh, ojol, pendidik, perawat, perempuan, masyarakat adat, peternak, nelayan, petani, ekstrimis, radikalis, liberalis, nasionalis dan berbagai golongan lain dari tanah air Indonesia.
Itulah kedigdayaan sihir Anies. Apa yang mereka pikir omon-omon belaka, kini tumbuh menjadi gerakan massa.