Clash of Champions: Ruangguru vs Tren Anti-Sains di Sosial Media

Afi Ahmad Ridho
5 min readJun 30, 2024

--

Sumber: Instagram.com

Foto-foto mahasiswa berprestasi dari berbagai kampus ternama diiringi “ge-ge-genius”-nya LSD ft. Sia, Diplo, dan Labrinth membanjiri beranda media sosial penulis dalam kurun lima hari kebelakang. Dan pastinya, saya bukan satu-satunya orang yang mengalami hal tersebut.

Tren ini tentu tak muncul tanpa sebab, kompetisi Clash of Champions yang diselenggarakan Ruangguru menjadi pemicu kemunculan mahasiswa-mahasiswa fantastis dengan IPK yang jauh melebihi Wakil Presiden kita (sekitar 2,3) yang akan dilantik Oktober nanti.

Menyaksikan kesuksesan Clash of Champions dalam menuai jutaan likes dan views di tengah pusaran tren cek khodam adalah hal yang sangat menarik. Masih segar dalam ingatan penulis; pada kuartal pertama 2024, media sosial kita dipenuhi oleh gejolak anti-sains mulai dari intimidasi yang dialami para guru besar pasca-deklarasi pemilu demokratis, tren sediain Loker Buat calon sarjana, kuliah adalah pengangguran dengan gaya, hingga pernyatan “pendidikan tinggi itu tertiary education” yang diucapkan oleh salah satu Dirjen Kemdikbudristek.

Hal-hal menarik yang ditemukan penulis dalam Clash of Champions akan disampaikan dalam artikel ini; pembahasan akan terbagi dalam tiga bagian, dimulai dengan konsep edutainment: edukasi dan hiburan, gejolak tren anti-sains, dan pelajaran yang bisa kita petik dari Clash of Champions. Let’s go!

Edutainment: Edukasi dan Hiburan dalam Clash of Champions

Konsep edutainment dapat dipahami sebagai gabungan antara proses edukasi (education) dan hiburan (entertainment). Tujuannya, membuat belajar tidak menjadi proses yang membosankan sehingga proses pembelajaran bisa berjalan lebih efektif; atau setidaknya, membangkitkan motivasi seseorang untuk mulai belajar. Hal tersebut tentu sangat terasa dalam keseruan Clash of Champions dalam setiap episodenya.

Clash of Champions diselenggarakan oleh Ruangguru–sebuah perusahaan bimbingan belajar online dan offline terkemuka–yang mempertemukan 40 mahasiswa berprestasi dari perguruan tinggi negeri dan swasta dalam negeri ditambah 10 mahasiswa berprestasi lain yang berkuliah di luar negeri.

Sumber: Ruangguru.com

Program besutan Ruangguru tersebut menyuguhkan kita tontonan seru; melihat bagaimana orang-orang jenius berpikir keras, berhitung cepat, berusaha mengingat berbagai simbol dan angka, serta curahan hati para peserta Clash of Champions dalam menyelesaikan tantangan yang disajikan dengan dramatis. Semua peserta yang hadir akan memperebutkan beasiswa yang disediakan eksklusif untuk 10 pemenang di ajang tersebut.

Suguhan itu mengundang berbagai tanggapan netizen di dunia maya; banyak orang merasa takjub, melayangkan pujian, bahkan merasa bingung dengan menu sarapan peserta, “13 jurnal scopus? lu sarapan apa, Shakira?”.

Perpaduan antara edukasi dan hiburan ini membuat mahasiswa-mahasiswa berprestasi menjadi role model, digandrungi sebagai sosok yang ingin ditiru oleh berbagai pelajar; menantang pandangan miring tentang mahasiswa pintar yang biasanya jarang bergaul, kaku, tidak keren, dan tidak populer; serta menambah pundi-pundi rupiah platform ruang guru dengan program bimbel berbayarnya tentunya.

Tren Anti-Sains yang Menjalar dalam Media Sosial

Anti-Sains merupakan penolakan terhadap ilmu pengetahuan dan metode ilmiah. Pada kurun 2019–2022 misalnya, gerakan menolak vaksinasi COVID-19 yang bermunculan dengan banyak alasan irrasional, tidak masuk akal. Pandangan ini tentu akan berbahaya apabila dianut secara massal. Dalam konteks pandemi, penyebaran virus akan semakin meluas dan sulit terkendali apabila banyak orang yang menolak vaksinasi.

Menurut Philip dan Muller, peneliti dari Universitas Ohio, keyakinan Anti-Sains dapat muncul akibat empat hal, yakni:

  1. Menganggap sumber-sumber informasi ilmiah tidak kredibel
  2. Menyatakan kelompok ilmiah ‘anti-sains’, padahal mereka lah yang anti-sains
  3. Informasi ilmiah bertentangan dengan keyakinan yang selama ini dianut
  4. Ketidaksesuaian antara cara penyampaian pesan ilmiah dengan cara berpikir seseorang (penyampaian informasinya ndakik sehingga sulit dipahami)

Benang merah dari keempat poin di atas adalah peristiwa yang terjadi ketika informasi ilmiah bertentangan dengan apa yang diyakini orang-orang atau gaya berpikir mereka.

Sikap anti-sains juga didorong algoritma media sosial yang dapat menghujani pengguna dengan berbagai sumber berita dimana mereka bisa mendapatkan fakta versi mereka sendiri, sesuai keyakinan mereka. Contoh sederhananya, jika anda selalu menyukai video Prabowo atau menghabiskan banyak waktu menontonya, maka algoritma media sosial akan cenderung hanya menampilkan konten-konten tentang Prabowo atau sesuatu yang berkaitan dengannya.

Pada kuartal awal 2024, gejala Anti-Sains kembali muncul. Deklarasi Para Guru Besar dari berbagai penjuru negeri dicemooh sebagai “aksi bayaran”, dikritik, bahkan diintimidasi. Hal ini menunjukkan ketidakpercayaan pada pengalaman dan proses pembelajaran guru-guru bangsa. Profesornya dianggap remeh.

Dilanjutkan dengan tren sediain Loker Buat calon sarjana dan kuliah adalah pengangguran dengan gaya yang menunjukkan ketidakpercayaan publik terhadap mahasiswa yang menimba ilmu di universitas untuk dapat mempraktikkan konsep dan teori yang didapat di bangku kuliah untuk dipraktikkan di lapangan. Mahasiswanya dianggap remeh.

Sumber: Tiktok.com

Dan yang masih cukup hangat tapi hampir basi, pernyataan seorang Dirjen Kemdikbudristek bahwa pendidikan tinggi adalah tertiary education. Pendidikan tingginya dianggap kebutuhan yang tidak perlu diutamakan. Padahal, persentase penduduk yang lulus dari perguruan tinggi di Indonesia per-2023 hanya berada di angka 6,41% dari 275 juta jiwa.

Keberadaan Clash of Champions dari Ruangguru menjadi oase di tengah tandusnya sektor pendidikan tinggi di Indonesia. Setidaknya, kita bisa melihat banyak orang menonton putra-putri bangsa yang berprestasi di sela-sela pelaku cek khodam dan penonton setia Mama Gufron dengan bahasa suryaninya.

Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Clash of Champions

Dari Clash of Champions, kita bisa lihat bahwa belajar dengan giat dan meraih memenangkan banyak kompetisi tidak akan membuat pelajar berakhir kuper dan kaku. Sebaliknya, dengan menggali potensi diri, kita akan dipertemukan dengan orang-orang lain dengan passion yang sama.

Lagi, kalo masih belum bisa gemar kegiatan belajar atau pelajaran, kita bisa mulai menggemari orang yang suka belajar sebab bergaul dan berada di sekeliling pembelajar yang tekun akan membuat kita terpacu untuk melakukan hal yang sama. Saat ini, untuk bergaul kita bisa memotong jarak, internet telah membuka kesempatan bagi kita untuk terhubung dengan mereka yang terpisah ribuan kilometer dari kita dan memungkinkan kita untuk tahu keseharian mereka.

Sekarang pilihan ada pada jari yang kamu letakkan di atas gawai. Apakah kamu akan mulai bergaul dengan indahnya ilmu dan bergumul di antara suguhan konten pengetahuan?

--

--

Afi Ahmad Ridho
Afi Ahmad Ridho

Written by Afi Ahmad Ridho

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI

No responses yet