Democracy vs DemoCrazy
Kejatuhan Demokrasi Era Jokowi, “Etik Ndasmu!”, dan Secercah Harapan yang Tersisa
Menilik Demokrasi
Saya tidak heran, mengapa di antara tumpukan sistem bernegara, kita memilih demokrasi. Demokrasi adalah perjalanan tanpa akhir untuk menghasilkan kebijakan publik yang–sebisa mungkin–adil bagi seluruh golongan. Sistem ini memberi kesempatan publik untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan para pemimpin dan arah kebijakan yang akan mereka tuju. Tentu, demokrasi tidak sempurna; ada banyak praktik korupsi, kecurangan, dan kelicikan di dalamnya. Akan tetapi, jangan sampai ketidaksempurnaan itu menutup mata kita terhadap hal-hal baik yang telah demokrasi hadirkan, sebab sistem pemerintahan non-demokratis (otoritarian) akan lebih tidak representatif, lebih sulit dipertanggungjawabkan, dan lebih tidak memperhatikan aspirasi publik.
Dalam perjalanannya, demokrasi juga mengalami dinamika pasang-surut dari masa ke masa. Masa surut demokrasi dapat terjadi sewaktu individu, partai, dan/atau koalisi partai politik melakukan hal-hal “gila” untuk meraih kekuasaan atau mempertahankan tahta mereka melalui upaya yang bertentangan dengan prinsip dan etika demokratis. Para ilmuwan telah merekam jejak kejatuhan demokrasi di berbagai belahan dunia dan merumuskan kerangka konseptual untuk mengidentifikasi kejatuhan demokrasi, The Democratic Backsliding.
Bagaimana Kegilaan Terjadi
Kemunduran demokrasi (democratic backsliding) adalah fenomena yang dapat diprediksi melalui pengamatan terhadap politisi, institusi, dan birokrasi pemerintahan. Terdapat dua faktor pendorong yang memungkinkan individu dan/atau partai politik membuat demokrasi melemah, yakni: pemimpin sok merakyat (charismatic populism) dan degradasi pesaing (partisan degradation).
Pemimpin sok merakyat (charismatic populism) adalah mereka yang mengklaim dan menahbiskan diri sebagai sosok yang memiliki kemampuan unik untuk melampaui kebobrokan sistem dan mewakili kepentingan rakyat. Sosok ini biasanya melekatkan atribusi yang identik dengan mayoritas pemilih secara non-substantif. Misalnya, karena gen-z disinyalir identik dengan hiburan dan media sosial, maka sosok pemimpin merepresentasikan diri sebagai figur yang menghibur dan menyenangkan. Tujuannya, memenangkan hati rakyat.
Sedangkan degradasi pesaing (partisan degradation) adalah upaya untuk mengurangi intensitas persaingan melalui putusan hukum dari instansi hukum (legal institutional). Jika partai atau koalisi partai menilai adanya ancaman yang menyebabkan mereka tidak dapat memenangi kontestasi, maka pemimpin akan berupaya merubah regulasi yang hanya dapat menguntungkan sebagian atau satu pihak saja. Upaya ini tentu sah secara hukum, namun melukai esensi demokrasi.
Bercermin pada Kebobrokan Demokrasi Sri Lanka
Di Sri Lanka setelah memenangi pemilihan umum (pemilu) pada 2005, Mahinda Rajapaksa dan komplotannya memonopoli sistem pemerintahan–badan eksekutif, badan legislatif, dan badan yudikatif–sehingga dia kembali terpilih dalam pemilu 2010. Parlemen kemudian menghapus batas pencalonan Presiden–sebelumnya seorang kandidat dapat terpilih sebagai Presiden sebanyak dua kali–sehingga Rajapaksa dapat kembali berlaga pada pemilu 2015. Lumayan familiar bukan? untungnya Indonesia berhasil selamat dari wacana tiga periode.
Rajapaksa kemudian menunjuk kroninya untuk menduduki kuasa kehakiman tertinggi dan mulai menjalankan sistem otoriter di balik tirai demokrasi (autocratic legalism). Apakah anda pernah menyaksikan pola ini? wkwk. Akan tetapi, secara mengejutkan, Rajapaksa dikalahkan Maithripala Sirisena, penantangnya pada 2015. Tetapi cerita tidak berhenti di sana, pada 2019 saudara kandung Mahinda Rajapaksa yang bernama Gotabaya Rajapaksa memenangi pemilu dan menjadi Presiden. Dinasti Rajapaksa kemudian mendominasi sistem, lalu sang adik membentangkan karpet merah bagi Mahinda Rajapaksa untuk menduduki kursi Perdana Menteri. Sekarang, dengan sedikit penyesuaian alur, anda dapat merekonstruksi cerita tersebut dengan menggunakan kisah hidup Joko Widodo, Anwar Usman, dan Gibran Rakabuming. Tentu merangkai ulang alur cerita bukan hal yang salah, bukan? Inilah yang saya sebut gila, democrazy.
Ndasmu Etik: Cara Terbaik untuk Memulihkan Demokrasi
Beberapa waktu lalu, Prabowo Subianto sempat menjadi buah bibir masyarakat lantaran ucapan “ndasmu etik” yang beliau sampaikan kala rapat internal Partai Gerindra. Tentu, beliau sama sekali tidak salah. Etika dan norma dimulai dari kepala (ndas, Bahasa Jawa: Kepala), etika harus dimulai sejak dalam pikiran, baru dapat dilaksanakan melalui perbuatan.
Dalam artikel bertajuk The Pragmatics of Democratic “Front-Sliding”, Tom Ginsburg dan Aziz Huq menyampaikan dua cara untuk menyelamatkan demokrasi yang jatuh. Pertama, menjaga integritas profesional. Institusi adalah benda mati, orang-orang di dalamnya yang membuatnya hidup. Saat pemerintah otoriter berkuasa, para profesional berintegritas harus menjaga posisi mereka agar tidak tergeser sembari menunggu dan memicu momentum reformasi kepemimpinan, Ginsburg dan Huq menyebut ini dengan “norma kesabaran” (norm of forbearance). Momentum akan tiba saat rakyat menyadari saat efek kebobrokan pemimpin mulai dirasakan rakyat sebab sejarah membuktikan, democratic backsliding selalu akan menuai ketidakpuasan rakyat akibat pembungkaman publik, ketidakpastian hukum, dan stagnasi ekonomi seperti yang terjadi di Sri Lanka, Venezuela, dan dan India.
Kedua, menjaga institusi non-pemerintahan yang melakukan perlawanan progresif terhadap pemimpin yang bobrok. Dalam setiap kisah penjahat, tentu akan selalu muncul pahlawan, bukan? Instansi non-pemerintah yang melakukan perlawanan progresif serta pencerdasan publik adalah lawan alami dari kepemimpinan bobrok. Sebab sistem yang otoriter selalu berupaya membuat rakyatnya menjadi bodoh dan takut bersuara agar dominasinya tegak abadi. Contoh instansi watchdog–pengawas sistem–demokrasi dapat dilihat pada Instituto Nacional Electoral di Mexico dan Supreme Election Council di Turki. Kedua cara tersebut terlihat normatif, namun sampai sejauh ini, keduanya masih menjadi opsi terbaik yang ditawarkan ilmuwan politik.
Secercah Harapan: Kepada Siapa Hak Pilih Kita akan Bermuara?
Beruntungnya kita, dalam sistem demokrasi, kita bisa mencegah aktor-aktor yang berpotensi merusak untuk berkuasa melalui jari-jemari dan mulut kita, yap pemilu dan opini publik. Demokrasi ibarat pasar kebijakan, anda dapat memilih siapapun dengan alasan apapun dan kabar baiknya, seluruh suara kita bernilai sama. Satu hak suara untuk satu pemilih. Watak otoriter akan mengupayakan segala cara dan menggunakan seluruh sumber daya yang mereka miliki untuk memenangi pemilu, jika anda memilih untuk diam dan tidak memilih, anda akan termasuk dari golongan yang membiarkan demokrasi jatuh. Ingat, suara anda bermakna hanya jika anda mencoblos. Harapan besar untuk masa depan demokrasi bergantung pada keputusan anda di pemilu nanti. Saya ucapkan selamat berpesta bagi anda yang memilih untuk bersuara!