Di Balik “Malam Chaos” Eksplorasi Pemira BEM FISIP UI 2025
Dok, dok, dok. Derap langkah sepatu yang menghujam deret anak tangga di lantai tiga Gedung N2 sore itu terdengar memenuhi seisi gendang telinga. Cemas. Ketakutan menyelimuti kepala setelah tempo hari aku mengundurkan diri sebagai Calon Ketua BEM FISIP UI 2025. “Pecundang!”, “pengecut!”, “tolol!”, “cieee, Kabem gagal!”. Pikiranku tak henti-henti menggarap berbagai skenario olok-olok yang mungkin muncul ketika pintu kubuka nanti.
Beberapa detik berselam, aku tiba di depan kelas. Berat sekali rasanya untuk datang ke kampus setelah berbagai kekeliruan yang terucap sewaktu eksplorasi, apalagi mundurnya aku dan wakilku dari kontestasi. Gagang pintu kuputar, aku siap dihujat oleh teman-teman sejurusan.
Ternyata, aku salah besar. Bukannya dihujat, begitu masuk aku langsung mendengar sapaan “Hai, Afii!”. Ntah dari mulut siapa, yang pasti aku merasa sangat lega karena kalian. Lega rasanya melihat masih ada yang mau bercengkrama setelah semua kesalahan dan mundurnya aku dari Pemira BEM FISIP UI. Mataku berkaca-kaca. Berbagai perasaan tercampur aduk dalam kalbu. Antara sedih, malu, cemas, takut, tapi bahagia. Bahagia karena telah melewati seluruh proses yang melelahkan ini, kalah tanpa bertarung, tapi akhirnya masih punya energi untuk kembali. Ke HI, ke FISIP UI.
Melalui tulisan ini, aku ingin bercerita sedikit pengalamanku sebelum, sewaktu, dan setelah Pemira BEM FISIP berlangsung. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membela diri, menyerang pihak lain, ataupun menyalahkan keadaan. Anggap saja tulisan ini sebagai curahan hati seorang teman yang kamu temui di sebuah cafe sembari minum kopi. Jadi, selamat menikmati!
Tentang Aku, Wakilku, dan Alasanku untuk Maju di Pemira 2025
Ada satu komentar di zoom eksplorasi yang sangat membekas. Kira-kira begini isinya. “Lah, udah tau lu sama alief ga fisip-fisip banget. Terus ngapain masih mau maju?”. Sebagai konteks, aku bukan orang yang banyak menghabiskan waktu di fisip untuk nongkrong atau ikut program kerja populer, seperti di bidang olahraga, seni budaya, dst.
Sebaliknya, aku banyak berpartisipasi di program kerja tingkat universitas yang diadakan kemahasiswaan UI, CDC UI, dan kegiatan kolaboratif bersama BEM dari fakultas lain. Belum lagi keikutsertaanku di organisasi ekstra kampus (PMII, Leads Indonesia, dan CSSMoRA) membuat sudut pandangku sangat terpacu oleh eksternal.
Namun di sisi lain, aku jadi bisa melihat peluang yang dapat dioptimalkan dalam fisip itu sendiri. Peluang untuk memberikan insentif bagi tiap-tiap fungsionaris yang mau berkontribusi untuk organisasinya di fisip.
Akhirnya tercetuslah ide untuk merancang mekanisme konversi SKS bagi anggota organisasi seperti yang dilakukan di FEB, website BEM untuk mengabadikan portofolio seperti FASILKOM, jejaring alumni berbasis barter value seperti FT dan FEB, lembaga kajian yang terhubung dengan lembaga riset dosen seperti di IPB, sertifikasi dari pihak ketiga yang dapat menunjang karir pasca-kampus, dan transformasi Biro Dana Usaha (Danus) menjadi Biro Keuangan dengan mekanisme fundraising yang lebih mutakhir.
Aku sadar, untuk mewujudkan impian tersebut, aku tidak bisa sendirian. Aku perlu seorang wakil yang lebih memahami internal dan keharmonisan organisasi, yang memahami kultur fakultas, yang dikenal sebagai figur yang “fisip”. Aku memposisikan diri sebagai seorang tamu, dan BEM adalah rumah. Akan sangat lancang bagi seorang tamu untuk mengotak-atik segala perabotan yang telah tertata tanpa izin dari penghuni.
12 nama mencuat dari obrolan dan tukar wawasan (twtw) bersama sesepuh fisip, 12 orang kuajak mewujudkan mimpi itu bersama, 12 orang juga menolak dengan alasan yang beragam. Ada yang berminat magang, hanya berminat menjadi pengurus inti dari BEM, atau sekadar ingin mengamati BEM tanpa terlibat di dalamnya.
Dua series pemira di bulan Desember kulewati tanpa mendaftar sebab wakil yang “fisip enough” itu tak kunjung datang. Pun selain aku, dua nama digadang-gadang untuk maju mengambil berkas, tapi keduanya juga tampak tak berbuat banyak.
Pemira berakhir tanpa calon hingga kongres Mahasiswa FISIP UI membentuk Panitia Khusus Pemira Ulang. Pemira ulang dilaksanakan di awal Januari, membuatku yang baru tiba di rumah setelah tahun baru harus bergegas kembali ke depok di tanggal enam, tanggal dibukanya pengambilan berkas.
Bertambah lagi nama wakil potensial yang aku terima, bertambah lagi penolakan yang aku dapati. Akhirnya, aku coba untuk mengajak orang yang tidak berasal dari internal BEM, tidak terlalu “fisip”, tapi punya visi yang sama. Akhirnya, ajakanku diiyakan Alief. Lalu kami maju, calon tunggal melawan kotak kosong. Tanpa lawan yang sempat diisukan maju di pemira seri pertama, tanpa calon tandingan yang “fisip enough”.
Menjelajah Hutan Rimba Berbekal Sebuah Lilin
Kalau kamu bukan pemimpin yang baik, tempatkanlah dirimu di sekeliling orang-orang baik. Kalo kamu bukan pemimpin yang “fisip”, tempatkanlah dirimu di sekeliling orang-orang yang “fisip”.
Begitu kira-kira motto yang aku dan Alief angkat sewaktu memantapkan diri untuk maju. Saat Pemira dibuka, aku dan Alief masih berada di daerah. Aku sendiri baru tiba di Depok tanggal 8 Desember setelah melalui 12 jam perjalanan darat dari Jawa Timur. Setelah istirahat secukupnya, kami langsung membentuk tim sukses, approach orang-orang “fisip” untuk menjadi campaign manager dan timses.
Bagi kami, FISIP adalah ekosistem yang unik. Berbagai elemen hidup di sini dengan ragam kultur yang disatukan melalui #satufisip. Bagi aku dan Alief, masih banyak elemen yang belum sempat kami jelajahi dalam FISIP. Dengan hanya berbekal pengalaman di bidang sosial-politik dan sosial-kemasyarakatan yang kami miliki, kami nekat menyusuri bidang-bidang lain di FISIP dengan semangat untuk berkontribusi dan memberikan yang terbaik. Seperti menjelajah hutan rimba berbekal lilin semangat yang bersinar sendu tapi tak padam-padam.
To do list yang harus kami lakukan selama empat hari kedepan–deadline pemberkasan 12 Desember–berjejalan memenuhi google sheets. Dalam waktu empat hari (tiga hari efektif) kami harus mendapatkan 420 lembar dukungan dengan rincian 15 orang dari empat angkatan 2021, 2022, 2023, 2024 dari tujuh jurusan di FISIP, melakukan twtw dan pengumpulan data sebagai dasar grand design, dan langsung menuliskan gagasan kami dalam GD.
Syarat yang harus kami penuhi semakin berlipat ganda akibat latar belakang kami yang berasal dari ORMEK. Kami juga harus menemui beberapa sesepuh FISIP untuk mendapatkan insight dan juga pendapat tentang niat kami untuk maju, memastikan bahwa niatan tersebut murni untuk kepentingan FISIP dan bukan untuk kepentingan pihak luar.
Masa libur membuat kami kesulitan untuk menjadwalkan pertemuan offline maupun online, membuat kami perlu berpikir ekstra demi menjaring aspirasi dan memenuhi lembar dukungan. Kami akhirnya menyelenggarakan Rembug Aspirasi dengan mengundang ketua angkatan sesuai dengan kriteria lembar dukungan. Objektifnya adalah menjaring aspirasi sekaligus meminta bantuan untuk memenuhi lembar dukungan (lemduk). Sayangnya dari seluruh undangan, hanya tujuh yang datang ke ruang pertemuan virtual.
Platform media sosial yang kami dan tim miliki diupayakan secara maksimal, berbagai ajakan untuk mengisi lemduk, mulai dari instagram, twitter, hingga line. Hingga injury time tiba di tanggal 12 Desember, kami hanya mampu menghimpun 370 lemduk.
Kami Didiskualifikasi, tapi Asa itu Masih Ada
Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi syarat tertulis dan tidak tertulis untuk maju di pemira. Nahas, kekurangan lemduk yang kami kumpulkan menjadi penyebab terdepaknya kami dari kontestasi lebih cepat. Mekanisme pengesahan calon di FISIP hanya memiliki dua opsi, berkas dinyatakan lulus atau berkas ditolak tanpa menyisakan kesempatan untuk lulus bersyarat. Akhirnya, kami didepak dari kontestasi sebelum pertandingan dimulai.
Sedih rasanya, mengingat upaya yang aku bangun sejak awal Desember, membuat deck gagasan, pulang ke rumah lebih akhir, kembali lebih awal, memotong waktu istirahat, dan mengajak puluhan orang untuk bertukar wawasan harus berakhir dalam satu malam. Namun, keputusan panitia adalah mutlak. Aku terima dengan lapang dada.
13 Desember, aku seperti mati rasa, tidak mood melakukan apapun. Beberapa orang menyarankan untuk mengajukan gugatan kepada panitia, tentang timeline, rasionalisasi 420 lemduk, representasi jurusan, kekosongan hukum, dll. Namun aku menolak. Menurutku, gugatan seperti itu tak lebih dari protes atas ketidakmampuan untuk memenuhi syarat.
Sore harinya, aku melihat asa itu masih ada! Ada satu berkas yang tidak dilampirkan panitia sewaktu pengambilan berkas yang membuat proses tersebut tidak valid. Kami menggugat, gugatan kami diterima.
Panitia lalu memberikan waktu seminggu untuk proses pemberkasan ulang, konsekuensinya, 370 lemduk yang sudah kami dapatkan dianggap hangus karena lemduk juga dinyatakan tidak sah.
Tentu, waktu yang ada tim kami manfaatkan dahulu untuk istirahat. H-6 pengumpulan berkas, kami coba menyusun Rancangan Besar dan kembali memungut lemduk. Dua hari berselang, lemduk baru kami hanya diisi 30-an orang. Ternyata kali ini lemduk lebih sulit. Aku dan Alief tidak bisa fokus mengerjakan GD karena lemduk yang menghantui di siang dan malam.
Aku ikut menyebarkan broadcast, membuat story di instagram, dan melakukan pc untuk meminta bantuan pengisian lemduk. Hari pengembalian berkas akhirnya tiba, kekhawatiran ditolak kedua kalinya karena lemduk kembali mengudara sebab saat itu, meski 500 lebih lemduk telah kami kumpulkan, komposisi angkatan tetap beum terpenuhi. Aku panik, Alief panik, tim kami juga panik.
Segala upaya kami lakukan hingga akhirnya, berkas terpenuhi pada pukul 23.58 WIB lewat 14 detik. “Yes, selesai cokkk!” teriakku kegirangan dengan aksen Bahasa Jawa yang kental.
Standar Ketua BEM Itu Non-Negotiable!
Sehabis lemduk terbitlah eksplorasi
Dinamika pemira masih terus berlanjut. Seharusnya, kami memiliki sisa 1x24 jam untuk menyelesaikan GD setelah berkas diterima, belum lagi ada tuntutan untuk melakukan pensuasanaan hari pencoblosan melalui instagram kampanye kami yang juga memerlukan waktu untuk mengambil gambar dan take video bersama tim media Afi-Alief.
Sewaktu sidang verifikasi berkas, kami memohon keringanan agar dapat mengumpulkan berkas H-1 eksplorasi. Permohonan ditolak dengan opsi. Perpanjangan waktu pengumpulan diberikan selama 17 jam. Kami menerima dengan penuh sukacita. Setelah sidang verifikasi berakhir, aku dan Alief menahan kantuk agar tetap terjaga untuk menggarap GD sampai esok.
Pukul empat dini hari, setelah sholat subuh, aku tumbang dengan laptop yang masih menyala di samping ranjang. Di sinilah, kejutan berikutnya terjadi.
Aku terbangun pukul 10 pagi dengan kepala sedikit linglung akibat jadwal tidur yang sangat tidak beraturan selama seminggu kebelakang. Anehnya, laptopku sudah tidak ada di tempatnya.
Aku mencari ke setiap sudut ruang dalam kamar, hasilnya nihil. Kubangunkan seluruh penghuni rumah (aku ngontrak) menanyai mereka yang juga masih setengah sadar perihal laptop. Keadaan semakin memburuk karena ternyata, bukan laptopku saja melainkan dua laptop dan dua handphone temanku juga lenyap.
Aku sudah tak bisa berkata-kata, melihat gembok pintu garasi yang sudah terbobol sempurna menyisakan debu-debu halus yang masuk tanpa permisi. Rumah kami kemalingan menyisakan panik luar biasa. Selain ada banyak data dan file berharga, laptop itu sangat berarti buatku.
Belum genap setahun rasanya aku memakai device bertenaga chip M1 yang jauh melampaui laptopku sebelumnya. Hari itu, barang yang kubeli hasil tabungan enam bulan digasak maling kurang ajar.
Teman-teman di rumah segera menyarankan untuk lapor polisi, aku menggeleng tegas. Aku sudah pasrah dengan laptop itu. Melaporkan kejadian tersebut ke polisi belum tentu akan membuatnya kembali. Namun eksplorasi hari itu pasti akan terjadi.
Aku berusaha tenang di tengah badai yang berkecamuk di kepala untuk tetap fokus. Mempelajari, mengingat, dan berlatih presentasi yang akan aku sajikan di depan KM FISIP nanti. Miris.
Pukul 17.00 WIB, eksplorasi berlangsung. Selama presentasi aku berhasil menyampaikan setiap kata tanpa terbata-bata. Aku tahu, isi GD-ku sangat buruk. Kepuasanku pada rancangan itu hanya 60% dan aku sampaikan itu dalam forum. Eksplorasi berlangsung hingga pukul 02.00 WIB dini hari. Semakin malam, semakin banyak kesalahan yang aku buat, semakin banyak pula pasang mata yang hadir dan berkomentar di ruang virtual.
Aku semakin tidak fokus, menyadari banyak hal yang aku lupa dan gagal untuk aku jawab. Malam itu, aku merasa sangat plonga-plongo. Seolah tak pernah ikut BEM, seolah tak pernah berkuliah di FISIP. Aku bahkan seringkali lupa pada poin pertanyaan, hingga perlu mengkonfirmasi penanya berkali-kali. Aku merasa asing di rumah sendiri.
Dan yap, berbagai kritik dan cemooh mengudara di langit twitter. Itu wajar, aku dan Alief layak mendapatkannya. FISIP deserves better than us. Setelah eksplorasi, mataku sulit sekali untuk terpejam. Di satu sisi memikirkan keberlangsungan kuliah selama satu semester kedepan tanpa laptop yang tidak mungkin dapat terbeli lagi dalam waktu dekat. Di sisi lain aku malu dan trauma.
Beruntungnya, masih ada orang yang mau menghibur dan menemani kala itu. Hingga akhirnya, aku bisa melewati fase tersebut.
Hari itu, seorang kawan bertanya “posisi, Fiii?”, aku jawab “sedang berada di titik terendah”.
Aku sadar, semua hal yang aku alami tidak bisa menjustifikasi kegagalanku. Standar Ketua BEM FISIP UI itu non-negotiable. Akan sangat berbahaya apabila BEM di masa mendatang dijalankan oleh orang yang tidak mengerti internal FISIP secara utuh. Niat baik dan inovasi saja tidak cukup.
Setelah didiskusikan matang-matang bersama tim, aku dan Alief memutuskan untuk mundur dari kontestasi Pemira BEM FISIP UI 2025.
Memulai Hidup yang Baru
Tibalah kita di akhir tulisan. Saat artikel ini dibuat, aku sudah merasa jauh lebih baik. Doa yang sama tetap aku lantunkan. Semoga FISIP mendapatkan yang terbaik, semoga aku mendapatkan yang terbaik. Aku mulai membuka lembaran baru dan menyusun ulang planning di semester ini untuk kembali ke rutinitas menjadi content creator, mengikuti lomba dan apply magang di beberapa instansi. Meski tidak di BEM, meski tidak di FISIP, aku ingin bermanfaat untuk orang-orang banyak.
Aku tidak pernah menyesal karena telah memutuskan untuk maju bersama Alief. Pengalaman selama pemira kemarin sangat berharga bagiku. Terima kasih kepada tim yang sudah senantiasa mendukung, kepada orang-orang yang mau memberikan masukan, juga teman-teman yang sudah bersedia mengkritik gagasan kami demi FISIP yang lebih baik. Terima kasih untuk pacarku, Hanum, yang selalu cantik, suportif, dan menghibur di kala hati sedang kelabu.
Saat ini panitia bersiap menyelenggarakan musyawarah mahasiswa (musma) untuk membahas relevansi BEM dan mencari sosok pemimpin bagi periode mendatang. Kami berharap teman-teman dapat berpartisipasi aktif di sana sampai seorang ketua BEM yang mumpuni bisa ditemukan.
Salam hangat, Afi Ahmad Ridho dan Alief Juliansyah