Kapal-Kapal Tanpa Nakhoda di FISIP UI

Afi Ahmad Ridho
5 min readDec 21, 2024

--

Perhelatan Pemilihan Raya (Pemira) FISIP UI mulai kick-off sejak 8 Desember lalu, upaya untuk mencari penerus kepemimpinan BEM dan tujuh Himpunan Mahasiswa Jurusan dimulai di tengah gempuran UAS.

Nahas, hingga 13 Desember–tenggat pengumpulan berkas kandidat–belum ada satupun batang hidung calon ketua dan wakil ketua lembaga yang terlihat mendaftar. Extra time selama 7x24 jam diberikan oleh panitia. Hasilnya nihil, hingga injury time tiba pada tanggal 20 Desember 2024, kotak pendaftaran Pemira BEM dan Himpunan masih kosong-melompong.

Beberapa nama berseliweran dari mulut ke mulut, beberapa nama juga sempat diisukan maju. Namun hasilnya sama saja, tak ada isu yang berubah menjadi aksi nyata. Satu-dua mahasiswa yang masih aktif menjabat di organisasi mulai resah dengan kondisi ini, sedangkan sisanya terlihat acuh tak acuh.

Sumber: instagram/kpr.fisipui

Saya pribadi menjadi saksi hidup dari krisis ini. Ingin rasanya untuk maju ke dalam kontestasi, tapi takdir belum bertaut. Dari 10 orang yang saya approach sebagai wakil, 7 di antaranya menolak, sedangkan 3 sisanya berniat lanjut di BEM tetapi tidak sebagai ketua/wakil ketua. Tak heran, posisi ketua dan wakil di organisasi mahasiswa (ormawa) hari ini semakin terlihat horor sebab tanggung jawabnya besar tetapi insentifnya kecil. Maklum, BEM dan ormawa lainnya itu lembaga non-profit, bukan korporasi.

Pengalaman serupa dialami oleh beberapa kandidat yang berkeinginan untuk maju sebagai ketua himpunan. Mereka mangaku sulit untuk menemukan wakil yang pas untuk mendampingi satu tahun kepengurusan lembaga kedepan.

Sumber: SK Pemira FISIP UI

Gue untuk organisasi atau organisasi untuk gue?

Kutipan ini saya dapatkan dari mantan ketua BEM FISIP 2019, Bang Iyer. Redaksi aslinya berbunyi “Gue buat BEM FISIP atau BEM FISIP buat gue?”. Kalimat ini memiliki makna cukup dalam bagi saya karena menyentak kesadaran alamiah manusia sebagai makhluk ekonomi yang senantiasa ingin mendapatkan hasil sebanyak mungkin dengan pengorbanan sesedikit mungkin.

Di organisasi, kita dituntut untuk melakukan banyak hal dengan iming-iming insentif “relasi, pengalaman, peningkatan soft skill, dan hard skill” yang klise. Tak jelas bentuk konkritnya. Padahal, saat ini mahasiswa sudah lebih mahir dalam menagih insentif. Jika organisasi tak mampu menambah isi otak (pengetahuan), isi dompet (uang), dan isi perut (kenyamanan dan keamanan), maka pantas saja ia ditinggalkan.

Banyak juga organisasi mahasiswa yang masih terkurung dalam jerat idealisme yang menjadikannya stagnan. Tak mau mengerti dan memahami sistem, serta enggan berkolaborasi dengan lembaga dan/atau kementerian negara. Atau, organisasi hanya sekadar tak tahu bagaimana caranya.

“Idealisme adalah kemewahan terakhir mahasiswa”, kata Tan Malaka. Namun saat ini, mimpi idealis harus dipikirkan secara strategis dan dijalankan secara taktis. Menutup diri pada inovasi dan tren kebaharuan hanya akan membuat organisasi semakin lapuk, layu, lalu mati.

Di tengah keadaan pelik, saya akhirnya tiba di suatu kesimpulan, yakni organisasi tidak cukup memberikan manfaat atau insentif yang jelas dibandingkan dengan program lain yang dapat dilakukan mahasiswa saat ini seperti magang atau IISMA (yang belum jelas kabarnya setelah pergantian rezim). Pada artikel ini, saya ingin membagikan pemikiran tentang payahnya ormawa, kondisi ideal yang dapat diwujudkan, serta potensi-potensi insentif yang dapat ditawarkan ormawa pada anggotanya.

1. Konversi SKS

Saat mahasiswa terlibat dalam organisasi, ia biasanya akan mengorbankan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk aktif di sana. Ormawa merupakan laboratorium tempat mahasiswa dapat bereksperimen dan mempraktikkan ilmu yang didapatkan di kelas. Maka, sudah semestinya mahasiswa yang aktif di organisasi mendapat kredit akademik berupa konversi SKS dari kampus.

“Kenapa IPK maksimal 4,00? karena 96 lainnya harus kamu dapatkan di luar kelas”

Konversi SKS dapat dijalankan di bawah naungan program pemerintah Merdeka Belajar yang bertujuan agar mahasiswa dapat mempersiapkan diri untuk memasuki dunia karir. Di organisasi, terdapat struktur birokrasi, alur administrasi, program kerja, dan indikator keberhasilan. Berproses di ormawa tentu dapat memberikan gambaran mengenai alur kerja dalam tim di sebuah industri.

Ketika insentif SKS diberikan, minat mahasiswa untuk ikut berorganisasi berpotensi naik drastis → saat minat berorganisasi naik → pendaftar meningkat → standar seleksi anggota tinggi → anggota yang masuk memiliki kualitas yang bagus dan teruji → efek dominonya, kualitas organisasi mahasiswa dan proses regenerasi membaik.

Jika kebijakan konversi kepengurusan organisasi menjadi SKS belum ada di kampusmu, mungkin ini saatnya menyuarakan hal tersebut. Advokasi!

2. Rekognisi Dosen

Rekognisi dosen dapat berupa pembuatan surat rekomendasi yang dapat diaplikasikan untuk keperluan magang/pekerjaan. Rekomendasi dari dosen dapat memperbesar peluang mahasiswa atau fresh graduate untuk mendapatkan kesempatan karir yang mereka inginkan, apalagi jika pemberi rekomendasi adalah dosen yang terpandang dan memiliki banyak prestasi.

Surat rekomendasi sebenarnya sudah lumrah di beberapa kampus, organisasi mahasiswa hanya perlu membangun sistem dan mekanisme bersama lembaga penelitian yang dimiliki dosen, jika konteksnya FISIP UI, maka ormawa dapat berkolaborasi dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial Politik (LPSSP) FISIP UI dan Pusat Kajian dari tujuh departemen.

Berkolaborasi dengan unit kampus juga akan memberikan berbagai manfaat bagi ormawa, misalnya pendanaan untuk pengabdian masyarakat dari kemahasiswaan atau project-project lain yang dapat dihandle.

3. Ekosistem Alumni

Salah satu kekhawatiran terbesar mahasiswa, khususnya yang berada dalam rumpun sosial-humaniora, adalah kepastian karir pasca-kampus. Dalam hal ini, sumber daya alumni seringkali luput dari perhatian ormawa yang kerap berupaya untuk menjawab relevansinya untuk karir mahasiswa.

Banyak ormawa yang hanya memanfaatkan alumni sebagai tempat meminta wejangan dan uang yang akhirnya hanya menciptakan hubungan patron-client yang tidak sehat. Hubungan ini membuat ormawa menjadi proksi dari kepentingan politik dan akhirnya semakin tercerabut dari upaya untuk menarik perhatian mahasiswa yang tidak berminat terjun di dunia politik.

Untuk itu, ormawa perlu membangun ekosistem bersama alumni. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengantongi database, melakukan mentorship bergengsi, dan membuat forum tahunan yang mengundang alumni sebagai perekrut dalam acara seperti job-fair.

Dengan pembangunan ekosistem tersebut, hubungan yang terjadi dengan alumni dapat dibangun secara profesional dan mengedepankan barter value, alumni mendapatkan panggung untuk mempromosikan perusahaan dan programnya serta kesempatan untuk merekrut calon pekerja berkualitas dari almamater yang sama, sedangkan mahasiswa mendapatkan informasi pekerjaan dan magang.

Hubungan profesional seperti di atas juga dapat memberikan gambaran bahwa ormawa merupakan lembaga yang memiliki capability untuk menyelenggarakan program besar yang akhirnya meningkatkan trust alumni. Ketika trust telah terbentuk, harapannya kesempatan untuk mengajukan proposal sponsor untuk proker ormawa menjadi kian lancar.

4. Member’s Benefit

Saat bekerja di perusahaan, seorang karyawan dapat diberikan asuransi kesehatan dari perusahaan terkait. Saya berpikir, ormawa juga dapat memberikan hal yang sama meskipun dalam kualitas yang lebih terbatas.

Misalnya, dalam konteks UI, ormawa dapat bekerja sama dengan Badan Kesehatan Mental (BKM) dan Klinik Makara UI untuk memberikan jatah fast track untuk layanan konseling kesehatan mental untuk para anggota ormawa yang kemungkinan lebih mudah terkena pressure. Tentu, hal ini perlu diwujudkan dengan kerja sama multi-stakeholder dan perlu pertimbangan matang.

Keempat hal di atas rencananya akan saya bawa sebagai gagasan dalam kontestasi Pemira BEM FISIP 2025. Anggap saja tulisan ini adalah soft-launching, wkwk.

Kembali ke laptop, organisasi adalah benda mati, tetapi orang-orang yang hidup di dalamnya adalah penggerak yang dapat menciptakan citra dan visi kemana ormawa akan dibawa. Dan hemat saya, krisis kepemimpinan ini dapat ditanggulangi dengan memperkuat kemampuan organisasi untuk memberikan insentif bagi anggotanya dengan cara kolaborasi multi-stakeholder dan inovasi.

--

--

Afi Ahmad Ridho
Afi Ahmad Ridho

Written by Afi Ahmad Ridho

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI

No responses yet