Lah, udah Jawa & Islam kok Masih Kalah?
8 Hal Penyebab Paslon Arsyi-Amu Kalah dalam Pemira BEM UI 2023
Tak terasa, seminggu telah berlalu sejak kertas suara terakhir tandas dirobek panitia Pemira (Pemilihaan Raya) BEM UI 2023. Yang menarik adalah calon Ketua BEM, Melki, seorang Non-Islam keturunan chinese mampu unggul dengan selisih sangat jauh – penulis lupa jumlah pastinya, tapi yang penting sangat jauh, wkwk – dari penantangnya, Arsyi yang notabene seorang penganut islam keturunan Jawa. Padahal, Opung Luhut Binsar Pandjaitan pernah mengatakan bahwa berdasarkan fakta antropologis, kalo bukan Orang Jawa gak usah ngarep jadi Presiden, deh! Kata “presiden” bisa kita maknai dengan “pemimpin tertinggi”, kalo di tingkat kampus ya Ketua BEM. Pernyataan ini cukup masuk akal karena memang mayoritas voters adalah orang Jawa dan Islam. Keterikatan primordial dan religi dapat menjadi faktor penentu bagi voters untuk memutuskan kepada siapa mereka akan memberikan suara. Namun hal tersebut tampaknya tidak berlaku di Universitas Indonesia.
Sejak awal, paslon Arsyi-Amu sudah sangat percaya diri untuk memenagkan Pemira karena mereka yakin bahwa kondisi primordial dan isu double minoritas Melki sudah cukup untuk menaikkan pundi-pundi suara Arsyi. Namun kelihaian dan kreativitas kubu Melki dalam kampanye berhasil mematahkan prediksi kemenangan Arsyi. Lebih dari pada itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan suara dari kubu Arsyi berkurang bahkan berpindah ke kubu Melki.
Dalam artikel ini, penulis akan memaparkan beberapa hal yang menjadi penyebab kekalahan paslon double mayoritas dalam Pemira BEM UI 2023 dari sudut pandang timses (tim sukses) yang telah berubah menjadi timsad (tim sedih) – karena kalah dalam Pemira, wkwk.
1. Kurang populer
Sebenarnya, Arsyi di atas kertas lebih unggul dalam jabatan struktural BEM. Arsyi adalah Ketua BEM Fakultas Ilmu Budaya sedangkan Melki “cuma” – meskipun bukan Ketua, jabatan Melki di BEM UI juga cukup strategis – Koordinator SOSPOL di BEM Universitas Indonesia. Namun, sepak terjang Melki dalam berbagai aksi advokasi membuatnya jauh lebih dikenal mahasiswa. Melki berperan aktif dalam mengawal aksi berbagai isu dalam negeri mulai dari #semuabisakena, #tolakkenaikanBBM, dan baru-baru ini #tolakpengesahanKUHP. Dalam kampanye, Melki menjadikan aksi-aksi tersebut sebagai tolok ukur bahwa dirinya telah teruji, berpihak pada mahasiswa, dan konkret. Hal tersebut berhasil menarik animo dan simpati IKM UI. Sebaliknya, kegiatan Arsyi di BEM FIB jarang terekspos dalam skala luas sehingga inovasi dan gagasan Arsyi redup di hadapan kedigdayaan Melki.
2. Terindikasi skandal
Sudah menjadi rahasia umum kalo Arsyi-Amu adalah duo paling strategis untuk digoreng. Pertama, Arsyi. Tahun lalu Wakil Ketua BEM FIB terjerat kasus kekerasan seksual (KS) terhadap mahasiswi di fakultas terkait. Padahal, isu KS adalah salah satu keresahan IKM UI yang marak terjadi di lingkungan kampus. Di BEM lain, biasanya fungsionaris yang terindikasi KS akan langsung dicopot secara tidak hormat. IKM UI seakan alergi dengn pelaku KS, para pelaku akan diceraikan dalam masyarakat dan dicabut hak politiknya. Nah, ketika kasus ini menimpa wakilnya, Arsyi tidak langsung mencopotnya, ia berdalih bahwa kasus KS harus ditangani secara perlahan demi kenyamanan korban. Sontak hal tersebut memicu kritik dari segala penjuru kampus. BEM FIB dituding tidak tegas dan menjadi pelindung pelaku KS. Hal itu membuat citra Arsyi dinilai tidak tegas dan tentu, membuat banyak suara berpindah pada kubu seberang yang terlihat sangar menindak pelaku KS.
Kedua, Amu, 2021 lalu dia terbukti menjadi dalang pelengseran Ketua Bem Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Citra BEM FISIP sebagai BEM paling solid tercoreng dengan peristiwa tersebut. Kampanye Amu bertajuk #arahbarufisip membuat seisi fakultas gempar dan kursi kepemimpinan BEM menjadi kosong. Meskipun telah melakukan klarifikasi di akun twitter-nya, aksi Amu masih dikenang oleh warga FISIP dengan sebutan black campaign. Rekam jejak mereka santer diperbincangkan sehingga membentuk opini publik bahwa Melki is lesser evil than Arsyi – klausa ini digunakan oleh teman penulis saat hendak memilih calon.
3. Timses cuma ngandelin maba
Entah apa yang menjadi inspirasi Arsyi, kombinasi tim kampanye didominasi oleh mahasiswa angkatan 2022. Kita memang tidak dapat mendiskredit kemampuan mereka, namun alangkah baiknya jika kita juga mengerahkan segenap teman dan kolega secara maksimal yang jelas-jelas punya pengaruh dan jaringan lebih luas di kampus. Para maba ini juga kurang memiliki militansi mendukung Arsyi, gak all out, karena memang, maba adalah masa transisi dan adaptasi. Padahal, Arsyi adalah ketua BEM FIB yang pasti mempunyai banyak kolega. Namun penulis melihat bahwa aktivitas mahasiswa FIB angkatan 2020–2019 masih sangat minim dalam mengkampanyekan Arsyi. Dia seolah menjadi lonely wolf dalam ajang perebutan kursi kekuasaan. Berbeda cerita dengan Melki yang dikawal penuh oleh rekan-rekannya. Terbukti saat pelaksanaan Pemira, saksi suara dari kubu Melki berasal dari angkatan 2021–2019 sedangkan kubu Arsyi mengutus maba-maba unyu.
4. Timses eksklusif
Arsyi dan Amu adalah pasangan kader ormawa Biru-Kuning. Di UI, ormawa identik dengan organisasi lapar kuasa yang mempunya hawa politis kental. Stigma ini turut disandingkan pada Arsyi sehingga, banyak IKM yang sebenarnya pro-Arsyi enggan memproklamirkan diri sebagai pendukung. Arsyi-Amu telah banyak mendapat cap negatif sehingga mereka – IKM pro-Arsyi – takut labelling itu melekat dalam diri mereka. Faktor lainnya, Arsyi-Amu terlalu berfokus pada pendekaatan vertikal. Konsolidasi yang dibangun hanya berada di ranah struktural BEM fakultas, angkatan tua yang jarang ke kampus, dan ormawa lain. Padahal, mayoritas voters dari tahun ke tahun adalah maba yang mudah terpengaruh propaganda dari kating. Eksklusivitas ini membuat timses Arsyi kalah secara kualitas maupun jumlah sehingga strategi kampanye yang telah dicanangkan berjalan kurang maksimal. Berbeda dengan Melki yang juga gencar melakukan pendekatan horizontal dan turun langsung ke lapangan. Melki-Cipa bahkan datang ke berbagai kantin mendengar dan mencatat segala keresahan IKM UI. Hasilnya, banyak IKM kepincut untuk milih mereka karena dinilai peduli dan pro-mahasiswa.
5. Asas “persahabatan” yang rapuh
Sulitnya merekrut timses di luar ormawa membuat Arsyi-Amu – mau tidak mau – harus memaksimalkan sumber daya yang ada dalam ormawa. Karena timses dan juru kampanye berada dalam satu naungan ormawa, Arsyi menekankan adanya asas kekeluargaan dan “persahabatan” – sahabat/sahabati adalah panggilan akrab dalam ormawa ini – dengan harapan para anggota ormawa mau bersusah-payah untuk memenangkan Arsyi-Amu. Namun para sahabat dan sahabati ini nampaknya tak mau ambil pusing sehingga keikutsertaan mereka dalam upaya pemenangan hanya sekedarnya saja. Kuantitas anggota ormawa ini menjadi tidak berguna karena ketiadaan profesionalisme, komitmen, dan militansi.
6. Gak kreatif dan inisiatif
Karena keterbatasan konseptor dan eksekutor kampanye, produk kampanye yang dihasilkan adalah hasil copy paste manuver yang dilakukan Melki. Kubu Arsyi selalu kalah langkah dari Melki baik dalam konsolidasi, pembumian propaganda, dan postingan media. Salah satu faktor pemicunya adalah kombinasi juru kampanye Melki yang diisi para profesional yang terstruktur, berbanding terbalik dengan kubu Arsyi yang “semuanya ngerjain semuanya". Akibatnya, kubu Arsyi hanyut dalam alur kampanye Melki. Langkah yang dilakukan Arsyi hanyalah respon terhadap gerakan Melki.
7. Mindset “milih BEM biar apasih?”
Selain itu, ada faktor eksternal yang berasal dari mindset IKM UI yang sudah bosan dengan proker BEM yang cuma itu-itu saja dan cenderung menonjolkan aspek politis. IKM UI lebih berminat pada program yang lebih bernilai pengembangan diri dan berorientasi profit seperti magang, MBKM, dan IISMA. BEM dianggap sudah ketinggalan jaman dan oleh karenanya, tidak ada urgensi untuk mencoblos. Hal ini membuat jumlah voters turun drastis dari 6.000-an suara pada tahun lalu menjadi hanya 2.000-an suara di tahun ini dari total 30.000 IKM UI.
8. Sistem Pemira yang aneh bin ajaib
Hal terakhir dari analisis penulis datang dari pihak Pemira. Meskipun pihak pemira sudah tidak jelas dan linglung sejak awal, puncak ketidakjelasan Pemira justru muncul pada tahap paling krusial: pemungutan suara. Pemungutan suara digelar sejak tanggal 19–24 saat beberapa fakultas telah melaksanakan UAS sehingga banyak mahasiswa – khususnya yang berasal dari luar daerah – mulai pulang kampung. Hal ini tentu cukup merugikan Arsyi-Amu karena kombinasi timses mereka secara geografis berasal dari luar Jabodetabek, sehingga pemilih yang berhasil mereka jaring juga berpotensi berasal dari daerah. Di sisi lain, sistem coblos kertas yang terkesan jadul juga kembali dipakai. Penulis percaya bahwa pasti ada pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan ini namun tentu, jumlah pemilih dapat lebih maksimal jika mahasiswa tidak perlu datang ke kampus dan bisa vote dari rumah.
Uraian di atas merupakan agumentasi yang penulis dapat setelah mengamati kekurangan kubu Arsyi. Nyatanya, dengan manajemen timses yang baik, kampanye yang menarik, serta pengendaalian opini publik, popaganda politik identitas dapat diabaikan voters dalam Pemira.