Menyoal Aksi Demonstrasi: Alasan Para Aktivis Kampus Hari Ini Terlihat Tolol

Afi Ahmad Ridho
7 min readJun 16, 2023

--

Kalo kamu jadi mahasiswa dan kamu gak kiri, kamu jahat;

Kalo kamu udah lulus dan kamu masih kiri, kamu bodoh.

sumber: diolah penulis

Siapa yang tak sebal melihat seabrek mahasiswa tumpah berduyun-duyun dan memblokade jalan sehingga lalu lintas membeku di tengah panasnya terik mentari kota?

Siapa yang tak kesal melihat asap hitam yang memedihkan mata akibat pembakaran ban secara sporadis oleh orang-orang yang juga mengutuk tindakan pencemaran lingkungan?

Bagi para demonstran, dua hal tadi tentu tak menjadi persoalan besar. “Yailah, macet dikit doang. Yang sabarlah, kan demi tegaknya keadilan! Yailah, asep gitu doang. Ga terlalu besarlah kalo dibanding asap industri tambang!”, ucap mereka dari tengah kemeriahan pawai demonstrasi.

Sejatinya, demonstrasi adalah hak bagi setiap insan yang hidup di negara demokrasi. Di Indonesia, demonstrasi — yang dimaknai sebagai aktivitas yang dilakukan satu orang atau lebih untuk memaparkan pikiran secara lisan maupun tulisan di muka umum — dijamin dan dilindungi haknya oleh UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Aksi demonstrasi sempat mencatatkan tinta emas dalam sejarah peradaban manusia. Mulai dari meruntuhkan monarki, memakzulkan pemimpin, reformasi, hingga revolusi. Namun mengapa aktivis kampus hari ini malah terlihat tolol, linglung, dan oportunis? Dalam artikel ini, penulis akan memaparkan beberapa argumen untuk menjawab pertanyaan tersebut, refleksi fenomena Manik nyaleg, serta diakhiri catatan singkat.

Kenapa keliatan tolol?

1. Vokal mengkritik pemerintah namun internal organisasi mahasiswa (ormawa) berantakan

Coba ingat, apa saja “dosa” pemerintah yang biasa dikorek aktivis? 1) korupsi, 2) kebijakan yang buruk, 4) intransparansi proyek, 5) nepotisme…. 186) tidak becus mengurus negara…. 2024) pemimpin hanya menjadi boneka partai, dst.

Ironisnya, dosa yang biasa dikoreksi aktivis juga seringkali terjadi dalam internal ormawa. Setiap ormawa pasti tak luput dari korupsi dana kegiatan, jadwal rapat kacau, eksklusif terhadap kalangan tertentu (misal: kalo yang megang BEM kader HMI, kader PMII bakal disingkirin), bahkan beberapa masih disetir SENIOR YANG SUDAH LULUS!

Ketika fenomena “maling teriak maling” ini telah menjadi konsumsi publik dan menjadi rahasia umum, respect mahasiswa non-aktivis terhadap aksi demonstrasi akan luntur. Internal ormawa yang buruk juga akan mengurangi minat mahasiswa baru untuk meneruskan tonggak estafet aktivisme dan lebih memilih magang atau mengikuti program exchange ke luar negeri.

Daripada panas-panasan dan bikin macet jalanan, mending magang di Gojek atau IISMA ke luar negeri ga, sih?

Memang, jika para aktivis menunggu ormawa “suci” dari dosa baru kemudian mengoreksi pemerintah, kritik tidak akan pernah muncul. Tapi tentu, akan sangat munafik apabila para aktivis ini terus menyuarakan kebenaran dan keadilan di tataran elit politik, namun membiarkan internal ormawa berlumur dosa.

Nah, dari sini, tololnya mulai keliatan.

2. Konflik kepentingan politik membuat motif demonstrasi kian dipertanyakan

Demokrasi adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani; δημοκρατία (dēmokratía) yang bermakna “kekuasaan rakyat”. Sistem pemerintahan macam ini memungkinkan setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk mengambil keputusan yang dapat menentukan penyelenggaraan negara. Wajah dari setiap kepentingan ini kemudian bermanifestasi menjadi partai politik yang senantiasa bertarung dan berkoalisi untuk memperebutkan kursi dan pengaruh dalam pemerintahan negara.

Tentu, tak semua partai mampu memperoleh suara rakyat lewat pemilu dan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi, sehingga partai yang kalah harus memilih satu di antara dua opsi, yakni bergabung dalam koalisi atau tetap teguh menjadi oposisi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa di balik setiap kritik keras dan demonstrasi massal mahasiswa, ada bekingan kuat yang membuat spirit tersebut terus terjaga. Bekingan tersebut dapat berupa spirit moral, altruisme, dan idealisme tinggi sehingga para aktivis tak goyah di hadapan penguasa. Selain itu, bekingan dapat pula berwujud material, janji jabatan pasca-kampus, serta insentif dari kalangan elit yang akhirnya membuat para aktivis tunduk di hadapan pengusaha.

Beberapa aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa belakangan ini santer diberitakan “ditunggangi” oleh pihak dengan kepentingan politik yang berlawanan dengan kepentingan istana. Tudingan ini — menurut para penuding — semakin diperkuat dengan fakta banyaknya aktivis kampus yang terjun ke arena politik. Salah satu figur yang viral saat ini adalah calon legislatif dari Partai Perindo, Manik Marganamahendra, ketua BEM UI 2019, yang sempat memodifikasi akronim DPR menjadi Dewan Pengkhianat Rakyat.

sumber: instagram.com/goblik.pol

”Gayanya aja ngritik, ntar kalo udah lulus palingan juga nyaleg kaya Manik”, mungkin kalimat itu yang akan terlintas di benak netizen saat aksi demonstrasi digelar mahasiswa. (uraian argumentasi tentang Manik akan dipaparkan pada bagian Refleksi Fenomena Manik Nyaleg)

Perpaduan antara metode penarikan kesimpulan yang asal-asalan, masyarakat yang minim literasi, serta skeptisisme terhadap independensi ormawa, akhirnya memunculkan label buruk terhadap para demonstran. Demonstran dianggap sebagai bidak-bidak ingusan yang hanya dimanfaatkan oleh pentolan ormawa untuk menuntaskan tugas dari elit yang mem-beking mereka.

Istilahnya, sih demo mahasewa

Kesadaran demikian terhadap fenomena tersebut membuat demonstrasi aktivis kian terlihat tolol.

3. Delegitimasi demonstrasi dan aktivisme mahasiswa

Untuk menciptakan stabilitas negara, menurut Machiavelli, Pemimpin harus mampu bersikap layaknya singa yang garang sekaligus rubah yang cerdik. Singa malambangkan kekuatan, keberanian, dan keputusan tegas. Sedangkan rubah berarti cerdik, cerdas, dan strategis.

Aksi demonstrasi adalah sebuah ancaman bagi stabilitas negara karena dapat menimbulkan efek domino terhadap persebaran isu dan kontrol opini publik. Merambahnya tuntutan yang termaktub dalam aksi demonstrasi dapat mengancam posisi elit politik sehingga demonstrasi harus dijinakkan pemerintah.

Ada banyak cara yang dilakukan setiap rezim untuk menjinakkan para aktivis, namun secara umum, upaya ini dapat disebut delegitimasi. Delegitimasi dalam pasal ini adalah “upaya pemerintah untuk membingkai kepentingan lawan — yakni para demonstran — sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional.

Ketika aksi demonstrasi berlangsung, pendekatan yang seringkali dilakukan pemerintah adalah “siapa dalang yang mem-beking demo” bukan “apa tuntutan demonstrasi yang harus pemerintah perbaiki”. Akibatnya, demonstrasi seringkali tidak dilihat sebagai kegiatan aspiratif namun lebih dilirik sebagai kegiatan subversif. Pemerintah mem-framing demonstrasi aktivis ditunggangi kepentingan oposisi sehingga tuntutan substantif dari demonstran menjadi terabaikan.

sumber: tempo.co

Pesan kuat, gambaran tak lengkap

Usaha pemerintah untuk mengurangi eskalasi aktivisme juga tercermin dari program pendidikan saat ini. Pemerintah memfasilitasi mahasiswa dalam kegiatan non-sosial politik dalam Merdeka Belajarnya Kampus Merdeka. Mahasiswa yang mengikuti MBKM berpeluang besar untuk mendapat insentif uang dan konversi SKS sehingga beban hidup serta beban mata kuliah dapat berkurang. Hal ini membuat menciptakan figur mahasiswa ideal sebagai dia yang magang di perusahaan terkenal atau dia yang keterima IISMA.

Sedangkan di sisi seberang, ormawa kian terabaikan. Untuk mendapat dana kegiatan saja, anggota organisasi harus mencari sponsor kesana-kesini, open paid promote di instagram pribadi, bahkan tak jarang harus patungan pabila dana kegiatan minus. Persamaan antara anggota ormawa dan peserta MBKM adalah sama-sama capek, namun bedanya ormawa tidak mendapat insentif dan konversi SKS. Memuakkan. Persepsi yang muncul dari pola semacam ini kemudian menyudutkan ormawa pada titik sepi peminat dan dipertanyakan relevansinya. Mahasiswa yang berproses dalam ormawa terkesan punya value lebih rendah daripada mahasiswa MBKM.

Ada yang bisa dapet uang dan konversi SKS, tapi malah pilih ormawa

Tololnya makin menjadi-jadi!

Refleksi Fenomena Manik Nyaleg

Keputusan Manik untuk maju dalam pilkada 2024 sebagai calon DPRD Partai Perindo cukup menyita perhatian publik belakangan ini. Tak sedikit pula yang menyayangkan manuver politik saat ini, karena Manik yang dulu sangat vokal mengkritik DPR. Dalam menanggapi persoalan ini, pertanyaan penulis sangatlah sederhana, “Salahnya di mana coba?”

Pertama, memilih dan dipilih dalam pemilu adalah hak setiap warga negara. Termasuk warga negara yang ngatain DPR taik, yang ngatain DPR dungu, juga untuk warga negara yang bilang DPR itu Dewan Pengkhianat Rakyat. Jadi secara prinsipil, keputusan Manik sah-sah saja.

Kedua, tentang image Manik; banyak stigma buruk yang bermunculan akibat berita Manik Nyaleg. Alasannya, karena — seperti yang berulang kali disampaikan — karena dia pernah mengkritisi bahkan kontra pada DPR. Jika kita telaah lebih dalam, ada kejanggalan dalam hal ini. Penulis akan menggambarkan keanehan tersebut melalui rekayasa premis:

  • Premis I : Manik mengkritik DPR
  • Premis II : DPR pengkhianat rakyat
  • Kesimpulan : Manik pro terhadap rakyat

Sampai di sini, semua masih baik-baik saja namun dalam alur berikutnya:

  • Premis I : Manik pro terhadap rakyat
  • Premis II : Manik nyaleg
  • Kesimpulan : Manik pengkhianat rakyat

Alur premis kedua menyiratkan rasa skeptis yang sangat besar terhadap DPR, sehingga, figur yang awalnya dianggap pro terhadap rakyat kini malah dituding sebagai bagian dari komplotan pengkhianat bahkan sebelum ia menjabat DPRD. Penulis jadi ingat pesan Mahfud MD dalam suatu sesi wawancara “Malaikat juga bisa jadi Iblis kalo masuk sistem pemerintahan yang jahat”.

Kesadaran akan skeptisisme ini seharusnya disikapi secara kesatria dengan ikut andil berusaha bertarung dari dalam sistem sehingga upaya penegakkan keadilan dapat terlaksana secara total.

Ketiga, tentang aktivisme; kata aktivisme hari ini telah direduksi pemaknaannya menjadi sebatas berteriak “hidup mahasiswa!” dan turun membanjiri jalanan. Padahal aktivisme bukan kata yang bersifat tangible (inderawi), melainkan metatangible (adi-inderawi). Aktivisme adalah energi tidak akan pernah bisa dimusnahkan, ia hanya dapat berubah bentuk menjadi karya sastra, musik, orasi, lobbying, negosiasi, dan ribuan rupa lainnya.

Boleh jadi, dulu Manik menyuarakan keadilan lewat toa usang mobil komando, namun tidak salah apabila medium yang digunakan berubah menjadi mikrofon kelas wahid di dalam gedung DPR. Yang harus kita kawal adalah “Jiwa Aktivis Manik” bukan persona atau pernak-pernik Manik.

Catatan penulis

Artikel ini nampaknya terlampau panjang melampaui ekspektasi penulis serta daya baca viewers. Untuk mempermudah pembaca, penulis akan membagi artikel ini menjadi dua bagian, yakni: Alasan Para Aktivis Kampus Hari Ini Terlihat Tolol & Refleksi Fenomena Manik Nyaleg.

Terimakasih telah membaca sejauh ini. Ungkapkan kesepakatan atau ketidaksetujuan anda, mari berdialektika!

--

--

Afi Ahmad Ridho
Afi Ahmad Ridho

Written by Afi Ahmad Ridho

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI

No responses yet